Di tengah eloknya tanah Papua, tempat burung Cenderawasih menari di atas hutan yang lebat, hiduplah seorang pria bernama Damos. Ia dikenal sebagai pemimpin—tegas, cerdas, dan tak pernah mau kalah. Tapi dibalik keberhasilannya, tersimpan hati yang keras seperti batu karang yang menantang ombak.
Damos merasa dunia tunduk padanya. Ia tak butuh doa, tak butuh gereja, dan terlebih lagi, tak percaya bahwa Salib punya arti apa-apa.
“Apa memperingati Paskah? Tak ada yang mati untukku,” ucapnya setiap kali orang berbicara soal maaf dan terima kasih Tuhan.
Namun, halaman itu langit Lembah Baliem tampak berbeda. Matahari naik malu-malu di antara kabut, dan suara pujian dari gereja kecil di perbukitan menggema ke lembah:
“Di Salib-Mu, kasih tak berbatas… Bumi Cenderawasih bersujud pada-Mu…”
Damos berdiri di antara bunga Cenderawasih yang bermekaran. Warnanya memeluk mata, seolah Tuhan melukis pengharapan di atas tanah yang ramah ini. Tapi hatinya masih kaku.
Sampai seorang mama tua mendekatinya, menggenggam tangannya dengan lembut.
“Nak, Paskah itu bukan tentang ritual. Ini tentang kasih yang menunggu, bahkan untuk hati yang tersesat.”
Ia memberinya sebutir telur Paskah berwarna merah. Di atasnya tertulis: “Kasih-Nya juga untukmu.”
Sejenak, Damos menatap langit. Angin pegunungan membawa harum bunga, pujian dari anak-anak menggema, dan hati, yang selama ini keras, mulai retak.
Di tanah yang penuh kasih dan pujian yang merdu, Damos akhirnya berlutut. Bukan karena kalah, tapi karena cinta yang turun dari salib telah menang.
Dan sejak hari itu, ia bukan lagi lelaki yang angkuh. Ia adalah bagian dari Cenderawasih yang menyanyi, bunga yang tak terbatas kasihnya, di tanah yang dijaga oleh Surga.
Penyunting : ARK