Jangan Kamu Menghakimi, Supaya Kamu Tidak Dihakimi” (Matus 7:1).

Penulis : Amatus Rahakbauw

Arikel695 Views

Pada suatu ketika, Aku disakiti oleh kedua temannya yang bukan sakit sakitan. Kedua temannya itu melontarkan kata-kata yang kasar bahkan sangat menyingung perasaanku kepadanya hingga membuat Aku menangis dan sakit hati. Kemudian, temanku itu mengungkapkan kekesalannya dengan menuliskannya di dalam status-status didalam media sosialnya bersamaan dengan hasil screenshot foto yang berisikan percakapan konflik antara Aku dan kedua temannya hingga membuahkan beberapa komentar dari teman- temannya.

Membaca status yang ditulis oleh temanaku itu membuatku Aku turut merasa sedih. Aku mengerti bagaimana pedihnya diperlakukan secara kasar oleh orang lain. Oleh karena itu, walaupun aku tidak terlalu sering bertemu dengannya, tenanku jadi tergerak untuk menolongaku. Aku mengiriminya pesan dan bertanya tentang keadaannnya beberapa kali, tapi dia kadang menanggapi kadang juga tidak. Dia masih terus saja mengungkapkan kemarahannya melalui status-status di media sosialnya.

Aku punya seorang teman yang tunarungu lalu aku mengenalnya sejak kami berada di sekolah tunarunggu beberapa tahun yang lalu. Kami juga berteman di salah satu media sosial. Pernah beberapa kali aku melihat curahan perasaan dan pengalamannya yang dia tuliskan di beberapa postingan.

Sampai suatu ketika, dia akhirnya membalas pesan itu. Melalui aplikasi chatting dia memberanikan diri untuk bercerita kepadaku. Katanya, aku sempat merasa iri hati kepada temannya yang bisa memiliki pasangan hidup yang tidak memiliki kekurangan fisik. Lalu, singkatnya karena perasaan itulah mereka jadi terlibat konflik di mana kedua temannya itu semakin membuat aku merasa sakit hati. Mendengar penuturan itu, aku pun memberinya sedikit saran supaya dia bisa melupakan kejadian ini dan menjadikannya sebagai pelajaran agar kelak tidak terulang lagi. Lalu, aku mendoakannya, juga mendoakan kedua orang yang telah menyakiti aku meski aku tidak terlalu mengenal mereka.

Akan tetapi, setelah pembicaraan kami usai, temanku itu masih belum berubah. Dia terus saja menuangkan emosinya melalui media sosial.

Kembali, aku menegurnya dengan lembut dan mendorongnya untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan juga memaafkan kedua orang yang telah menyakitinya itu. Dan, puji Tuhan karena pada akhirnya Aku bisa pulih dari rasa sakit hatiku dan tidak lagi merasa sedih.

Pengalaman yang dialami oleh aku itu juga mengingatkanku akan pengalaman serupa yang pernah aku alami. Dulu, aku pernah dibuat sakit hati oleh mantan pacarku karena tutur kata dan perbuatannya. Lalu, aku juga pernah merasa sakit hati karena merasa kehidupan ini tidak adil. Sulit rasanya menemukan pekerjaan untuk orang-orang penyandang disabilitas sepertitemanku. Jangankan untuk bekerja, untuk pelayanan di gereja pun terkadang sulit. Berat rasanya jika aku mengingat kembali momen-momen yang tidak menyenangkan itu. Seringkali aku pun menangis sendirian baik itu di gereja ataupun di rumah tanpa sepengetahuan oranglain, aku menangis sembari memendam rasa kekesalanku. Aku bertanya kepada Tuhan: “Mengapa harus begini? Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa berbuat begitu kepadanya.”

Tapi, alih-alih membiarkan diriku kecewa berlarut-larut dan menjadi terpuruk, aku percaya bahwa segala hal yang terjadi kepadanya itu pasti ada tujuannya. Oleh karena itu, aku memilih untuk berdoa. Aku belajar untuk mendoakan mantan pacarku itu, juga berdoa supaya melalui proses pencarian kerja yang sulit itu Tuhan boleh menyatakan kehendak-Nya kepadanya. Dan aku juga berdoa untuk bisa mendapat pasangan hidup yang mau mengisi menerima kekurangan fisiknya sehingga tidak membuatnya menjadi kesepian.

Ketika ada orang yang menyakitinya, sebenarnya secara naluri aku sangat ingin membalas perbuatan mereka. Tapi, sebagai anak Tuhan aku tahu bahwa aku tidak boleh membalas perbuatan mereka sebab firman Tuhan berkata:

“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18).

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matus 7:1).

Sekalipun aku tahu bahwa mereka salah, tapi aku pun tidak layak untuk menghakimi orang lain karena sama seperti mereka, aku pun sama-sama orang berdosa.

Ketika aku disakiti, kedua ayat di atas selalu meneguhkanku untuk tidak membiarkan diriku dikuasai oleh rasa dendam dan pembalasan. Aku tahu bahwa untuk mempraktikkan kedua ayat tersebut tidaklah mudah. Butuh kebesaran hati untuk menyerahkan segala rasa pedih dan dendam ke dalam tangan Tuhan. Bagianku adalah tetap berbuat baik dan mengasihi mereka yang telah menyakitiku. Hal paling sederhana yang bisa kulakukan adalah dengan mendoakan mereka supaya Tuhan memberkati mereka dan mereka pun boleh disadarkan akan kesalahannya dan tidak menyakiti orang lain lagi.

Iman Kristen adalah iman yang menuntut kita untuk hidup seturut dengan firman Tuhan. Maka, ketika Tuhan Yesus berkata: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, itu bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah perintah yang harus kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Mendoakan dan mengampuni orang yang telah menyakiti hati kita adalah langkah pertama menuju kesembuhan rohani. Biarlah Tuhan sendiri yang membalut, mengobati, dan menyembuhkan luka-luka di hati kita. Hanya Tuhan sajalah yang berhak menghakimi dan melakukan pembalasan atas apa yang telah orang lain perbuat atas kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengizinkan Dia membalut hati kita yang terluka.

Terakhir, untuk menutup tulisan ini, ada satu lagu berjudul “Mengampuni” yang liriknya begitu menyentuhku. Lirik lagu yang sederhana ini senantiasa mengajarku untuk tetap mengasihi orang lain, terlepas dari apapun keadaanya.

Ketika hatiku telah disakiti
Ajarku memberi hati mengampuni
Ketika hidupku telah dihakimi
Ajarku memberi hati mengasihi

Ampuni bila kami tak mampu mengampuni
Yang bersalah kepada kami
Seperti hati Bapa mengampuni
Mengasihi tiada pamrih.