Hiruk pikuk kendaraan dan pengunjung yang datang di cafe itu sama sekali tak bisa mengusir keindahan yang dibalut oleh senyuman tipis dan tawamu yang manis. Membawaku masuk ke memori untuk pertama kalinya kita bertemu.
Malam ini, adalah malam yang sakral bagiku, malam di mana mata ini bisa menatapmu untuk yang kesekian lama tidak berjumpa. Sama sekali aku tidak menyangka, pembicaraan itu pembicaraan paling nikmat yang pernah ia hidangankan bersama dengan secangkir kopi latte kesukaanku.
“Dik, kamu enggak mau pesan makanan?” Sapaku untuk memecah kebisuan di tengah keramaian.
“Oh, iyaa. Aku sudah kenyang, Bang.” Jawabnya sambil fokus ke layar gadget,” tadi sebelum berangkat ke sini aku udah makan.” Ditimpal dengan sedikit ekspresi cuek dari raut wajahnya.
Walaupun sebenarnya ia tertawa tidak untukku dan dirinya lebih sibuk membaca chat di gadget. Semuanya kuanggap itu wajar, walaupun hati ini ingin sekali merampas waktu luangnya hanya untukku. Bukan dengan orang-orang yang ada daftar chat-mu itu.
“Adakah cinta tanpa perhatian? adakah rasa yang dirawat tanpa keakraban?” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benakku.
Di kepalaku berkumpul semua tanda-tanya, kulempar pandanganku ke secangkir kopi yang perlahan mulai dingin.
Tapi, sayang. Sesekali bicara lalu diam, seperti nyata tapi tidak bernyawa. Aku seperti sedang bernyanyi dengan kesunyian. Tiba-tiba gadgetnya berdering, diam-diam mataku berpaling ke arah gedgetnya.
Pertemuan ini ternyata tidak seperti ekspektasiku. Padahal dalam imajinasiku, aku bisa menatap mata indahnya, merajut di dalam canda memecah kebisuan. Bercerita perihal rasa, keluarga dan soal-soal yang asik lainnya.
Lagi-lagi hati ini terbakar oleh api kecemburuan, kobarannya sangat dahsyat. Pikiran-pikiran jahat mulai memenuhi seisi anggapan. Setelah beberapa saat ia pun menutup pembicaraan, tapi gedgetnya masih setia dalam genggaman.
Dengan sigap ia mengangkatnya, lalu bicara. Terselip senyum tulus dari bibirnya saat ia bicara, dengan mengoret-oret meja dengan kunci sepeda motor yang ia bawa, sambil bicara dan sesekali tertawa.
Aku pun tidak lagi mempertanyakan, sebab bagiku cinta adalah jembatan pengertian. Aku mencoba memahami dan memberikan segala macam kebebasan.Aku ingin cintaku padanya bergerak secara merdeka, bukan seperti burung di sangkar emas, terlihat mahal dan berkelas, tapi kepak sang burung tidak bisa terbang bebas. Itu bukanlah cinta.
Malam adalah waktu di mana orang beristirahat dengan caranya sendiri-sendiri, baik dengan keluarga, kerabat maupun dengan kekasih hati. Jadi tidak jarang jika kita menemui setiap tempat hiburan, kedai-kedai kopi di malam hari di padati oleh pengunjung, yang datang dengan berbagai alasan yang diputuskan bersama orang-orang tercinta.
“Siapa yang menelponmu, Dik.” Kutanya dengan nada yang sedikit serius.
“Ohhh, hanya kawan lama, kawan kerja juga.” Ia pun menjawab dengan raut wajah tidak bersalah.
Di sela-sela kebisuan, ia pun melontarkan pernyataan, “Kok, Abang sekarang tampak kurang sehat, kurang istirahat, ya?”
Tapi malam ini, rasanya semua itu tidak berlaku pada diriku. Dipertemuan ini hanya merayakan kebisuan dan kecemburuan. Entah aku yang terlalu kekanak-kanakan, atau dia yang terlalu ogah untuk merayakan pertemuan.
Aku telah menghiasi diri ini layaknya taman yang awalnya gersang menjadi taman yang penuh warna-warni bunga yang riang, menunggu hadirnya kupu-kupu yang kuanggap tamu istimewa. Namun, taman itu akhirnya layu, karena kupu-kupu hanya menganggap bunga-bunga itu hanya ‘teman’ bukan ‘taman’ peristirahatan.
Memang, aku sangat senang sekali dengan kata-katanya. Sebenarnya itulah yang sejak awal kuharapkan. Setiap sedikit perhatian darinya, membuat tubuh ini kembali memiliki energi. Namun, tak berapa lama kebahagiaan kecil yang kurasakan, kembali harus sirna.
Diiringi sedikit senyum ramah, aku pun menjawabnya. “Iya, Dik. Akhir-akhir ini Abang memang kurang istirahat. Kerjaan makin lama makin berat.” Padahal hati ini ingin sekali jujur, bahwa malam-malamku penuh rindu yang berkecamuk, bahkan sakit seringkali menggerogoti jiwa ini. Tak lain tak bukan karena dirinya.
Bukan tanpa sebab, semua itu karena pengabaian, karena rasaku yang rasanya sama sekali tidak ia indahkan.
“Jaga kesehatan, ngiih.” Ia bicara dengan nada tegas, sembari melihat tanganku. “Kalau sakit nanti semua hal bisa terganggu, tau!”
“Iya, Dik. Siaaap laksanakan. Hehehe.” Kubalas dengan nada gembira.
“Bang, aku izin sebentar, ya?” Ucapnya, “Ini, ada teman yang sedang menungguku, di cafe sebelah sana.” Ia menunjukkan ke arah seberang jalan. “Nggak, apa-apa, ya. Abang kutinggalkan sebentar?”
“Oh, nggak apa-apa. Lanjutlah. Jangan biarkan orang terlalu lama dihantui rasa menunggu.” Dengan nada teduh kuteguhkan pernyataan itu.
“Maaacih, Abang. Duluan aku, ya. Sebentar saja, nanti aku ke sini lagi.” Sembari ia melambaikan jari-jarinya, lalu ia pergi meninggalkan pertemuan kami. Aku pun membalasnya dengan senyuman yang bisu.
Kegelisahan mulai menyapa hati, suasana mulai tidak bersahabat.
Cuaca yang awalnya cerah, seketika berubah mendung, tak beberapa lama rintik-rintik hujan kecil mulai membasahi bumi. Aku pun bergegas pindah duduk keruang dalam. Para pengunjung yang lainnya juga ikut menepi. Yah, cafe itu tergolong luas, ruangan outdoor di tempat itu lebih kusukai dari pada duduk di dalam. Rasanya sedikit pengap.
Aku masih setia menunggu, hampir 30 menit waktu kian berlalu. Kubuka gadget, sembari menunggu, berharap ia mengirim pesan, “Sabar, ya. Sebentar lagi aku ke sana.” Namun, harapan sering sekali tidak sejalan dengan keadaan. Chat yang kunanti tak kunjung menghampiri.
Cahaya lampu-lampu nan riang di cafe itu tak mampu lagi membuat hati ini ikut senang dengan pertemuan itu. Senyap-senyap angin malam mencoba menyapu kesedihanku.
Satu jam telah berlalu, chat darinya masih kutunggu. Bolak-balik gadget kubuka, samasekali tak ada hasilnya.
Akhirnya, kutulis pesan singkat kepadanya.
“Dik, Abang duluan, ya. Soalnya perjalanan pulang Abang masih jauh. Hati-hati pulang nanti. Bye-bye.”
Gadget langsung kututup, aku pun menunju kasir untuk membayar minum hangat yang telah kunikmat. Setelah itu, keputuskan untuk pulang. Dengan rasa penuh kecewa, kuterobos hujan yang mulai reda menjadi germis kecil. Malam itu, semesta sepertinya ikut perhatian, tetesan air itu, sebagai pertanda bagiku, bahwa sang pujaan tak lagi memihak keadaan.
Dalam perjalanan pulang, jujur aku menangis, gerimis kecil menjadi sahabat yang mencoba membasuh tangisku. Entah mengapa. Rasanya aku sangat merasa lemah dan lelah. Bukan kerjaan yang membuat energi itu terkuras, tapi karena rasa yang ia anggap tak pantas, sepertinya. Tak biasanya aku menangis karena wanita. Tapi kali ini tangis itu nyata adanya.
Sesampainya di rumah, gadget tak langsung kubuka, setelah membersihkan badan, kuistirahatkan sejenak jiwa ini di atas kasur. Sejenak hati ini meronta, “Kenapa aku jadi selamah ini? Bukankah cinta adalah energi yang membuat hidup lebih nikmat dan menghadirkan semangat.” Kecamuk hati seolah tak menerima keadaan.
Kubuka gadget, ternyata ada panggilan dua kali yang tak sempat kujawab. Kulihat chat yang masuk. Itu semua darinya.
Ia menulis dua pesan singkat, “Bang, maaf, ya. Tadi aku terkepung hujan. Mau ketempat Abang lagi hujan sangat deras. Gadgetku juga mati.”
“Sekarang aku udah di rumah. Baru saja sampai. Maaf, ya.”
Selalu kata ‘maaf’, yang sering kudapatkan, sebenarnya bukanku tak terima, hanya saja ini bukan persoalan maaf-maafan. Ini soal kejujuran. Jujur aku ini sebagai apa dalam pandangannya? Itu saja persoalannya. Dan bagiku tidak semua kesalahan bisa diredamkan dengan kata-kata ‘maaf’. Apalagi kita sudah pernah dilukai oleh keadaan, yang secara berulang-ulang dalam hal yang sama.
Malas sebenarnya kubalas chat darinya, namun aku juga tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.
“Nggak, apa-apa. Lain kali Abang bisa dirimu ditinggalkan lagi.”
“Maaf, yaaak.” Balasnya.
“Sudah Abang maafkan, sejak dirimu beranjak dalam pertemuan tadi.”
“Apa itu, kesalahan, Bang?” Balasnya lagi.
“Tanya saja dengan hujan malam ini?”
“Kok, Abang gitu, sih. Kan biasanya kawan menemui kawan, kayak aku menemui, Abang.”
“Jadi, Abang ‘hanya’ kawan sajakah?”
“Lha, kan dari awal sudah kusampaikan, aku belum menentukan Abang sebagai pilihanku. Kok, Abang jadi GR gitu?”
Rasanya naik pitam, jawabnya kian menghujam. Ternyata memang benar, kejujuran itu obat yang terasa lebih pahit. Kebersamaan yang megah kubangun selama ini hanya sebatas, “Kan biasanya kawan menemui kawan.”
Chat darinya menjadi tidak selera lagi kulanjutkan. Ekspetasi dan harapan seketika bungkam dan tenggelam. Aku tidak lagi bisa mengendalikan diri, rasanya ingin kubanting kepala ini kedinding.
Ia sepertinya masih mengetik sesuatu, selang beberapa menit ia mengirimkan lagi pesan singkat.
“ABANG, JANGAN TERLALU BERHARAP LEBIH, KITA HANYA SEBATAS KAWAN TAK ADA HAL YANG ISTIMEWA. DAN AKU ENGGAK SUKA ABANG KAYAK CHILDISH GITU.”
Tenyata rasa cemburuku padanya hanya childish dalam pandangannya. Sudah habis-habisan aku memperjuangkan satu nama, dalam do’a dan dalam letih dunia yang tak ada habis-habisnya. Semua itu hanya ‘childish’ saja bagi dirinya.
Aku tidak lagi mengerti, namun hati masih memiliki sejuta ekspektasi bersamanya. Namun, jika sudah demikian, aku harus pergi dalam peradabannya. Nasehat-nasehat Rumi kian menjelma dalam ingatan; “Puncak tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan.” Itulah yang membuatku kembali memiliki energi untuk membalas kesemuan ini.
“Baiklah, Dik. Jika begitu, maafkan Abang yang terlalu berharap lebih. Sekarang harap itu akan Abang kurangi, dan mari kita bangun persahabatan abadi.” Setelah kutulis langsung diamkan, perasaan ini telah berhasil digerogoti oleh kesedihan.
Gadget kulepaskan dari genggaman. Namun, bayang-bayang dirinya masih sangat setia dalam ingatan. Sejak saat itu, aku tidak lagi menjalin pertemuan. Dan pertemanan kami akan kuikat bukan lagi dengan pertemuan, melainkan dengan do’a-do’a sunyi yang hanya Tuhanlah mendengarkan. Ini bukan kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan, melainkan kisah cinta yang terpuruk.
Jarak yang akan kubuat ini tentu akan terasa berat, namun aku juga sadar, terkadang kita memang butuh jarak, agar bisa memahami rasa sebenarnya. Seperti kata-kata yang butuh spasi, agar mampu terbaca dengan baik dan tidak salah arti. Mungkin, aku telah salah arti dalam memahami kedekatan selama ini.
Mataku pun makin lama makin redup dalam rasa kantuk. “Selamat terlelap do’aku.” Ucapku dalam hati, sebelum menuju ke alam mimpi.