Harianmerdekapost.com.,Jayapura, – Oktovianus Masker Worabay adalah pengusaha Orang Asli Papua atau OAP yang berasal dari Kepulauan Yapen. Ia pernah berada pada titik terendah dalam hidupnya, lalu bangkit dan menjemput berbagai peluang. Ia mengasah talenta yang dimilikinya di bidang seni, kemudian mendirikan dan mengembangkan usaha ‘event organizer’ dan berhasil menyelenggarakan ‘Baku Timba Festival’.
Worabay menyambut Wartawan di rumahnya di Tasangka, Kota Jayapura, Provinsi Papua pada Senin (16/10/2023). Ia berkisah dalam percakapan selama 45 menit.“Dulu saya bermain musik dari hotel ke hotel. Saya juga pernah berada pada titik paling terendah, pernah menjadi tukang ojek, bahkan saya juga pernah memulung botol-botol bekas,” katanya.
Botol bekas yang ia pungut di tempat sampah itu untuk ia jual agar bisa mendapatkan uang. “Waktu itu tahun 2000, saya harus bisa melakukan hal itu dengan membuang semua rasa gengsi, rasa malu, agar saya bisa menghidupi keluarga kecil saya,” ujarnya.
Ia bekerja serabutan. Pada 2005, Okto, panggilannya, membuka usaha cuci motor. Waktu itu ia salah satu pelaku usaha pertama yang merintis usaha cuci motor di Kota Jayapura. Meski dengan modal terbatas usahanya bisa berjalan dengan baik.
Kesibukannya mengelola usaha tidak menjauhkannya dari musik. Ia bermain regular di sebuah hotel, kemudian mengisi acara ‘wedding’ dan acara kantoran. Namanya sebagai pemusik semakin dikenal sehingga ia diundang mengisi acara-acara di perusahaan dan acara pemerintahan.
“Selanjutnya saya mendapat kesempatan untuk membawa artis-artis Papua tampil pada 17 Agustus di PTFI (PT Freeport Indonesia), berturut-turut kurang lebih empat tahun,” katanya.
Ia diminta PTFI mengoordinasi anak-anak penyanyi lokal, seniman-seniman Papua, untuk bisa mengisi pada acara-acara kesenian di PT Freeport, khususnya pada acara perayaan 17 Agustusan. Posisinya sebagai agensi artis lokal.
“Dari momen itu saya melihat ada peluang yang baik untuk bisa dikembangkan lagi. Akhirnya saya mencoba lebih serius menekuni dunia ‘event organizer’, modalnya hanya keberanian dan menjual produk vendor,” ujarnya,
Ia mendirikan dan mengelola ‘event organizer’ atau EO yang diberi nama ‘Octow Entertainment’ itu dengan keterbatasan. Karena EO-nya belum memiliki produk dan belum memiliki properti, Okto mengawalinya dengan hanya menjadi penghubung untuk bisa menyediakan suatu fasilitas dalam sebuah even. Ia megelola berbagai event kantoran, lembaga, swasta, dan perorangan. Itu ia lakukan sampai EO-nya berkembang hingga memiliki modal dan ‘property’ atau peralatan penunjang untuk bisa menjadi EO.
“Saya bisa memiliki properti seperti panggung, tenda, meja, kursi, lighting (lampu), dan semua kebutuhan yang bisa kita gunakan dalam kita meng-‘handle’ sebuah acara yang digelar dan kami sebagai EO,” katanya.
Dari pengalaman mengelola acara yang hanya menunggu dan mengerjakan event, akhirnya ia mulai berpikir kreatif untuk menggagas sebuah kegiatan sendiri. Ia berpikir bagaimana membuat suatu konsep acara yang bisa berdampak kepada banyak orang.
“Jadi, saya coba berpikir untuk membuat satu event kuliner yang kita kenal dengan Festival Baku Timba,” katanya.
Event ini awali dengan berbagai tantangan, sebab konsep yang ditawarkan belum dikenal. Para pelaku usaha yang ikut ada yang menganggap penyelenggara hanya membuat acara, tapi tidak menyediakan fasilitas penunjang pelaku kuliner dalam mengembangkan usaha kulinernya dengan baik.
“Lalu kami coba tawarkan konsep baru yang kami buat, kami namai ‘Imbi Culinary Week’. Itu kami mulai Januari 2023 dengan dua sesi,” ujarnya.
Sesi pertama dibuat pada minggu kedua Januari dan sesi kedua dimulai pada minggu keempat. “Saya sampaikan ke tim saya bahwa kita coba lakukan sesuatu, saya tahu bahwa ini kita tidak akan untung, karena… apakah konsep baru yang kita tawarkan ini bisa diterima warga Kota Jayapura,” katanya.
‘Imbi Kuliner Weekend’ mengakomodir para pengusaha kuliner sekaligus menghimpun masyarakat Kota Jayapura untuk datang melihat konsep ini sebagai salah satu alternatif hiburan. Kegiatan ini dapat dinikmati oleh keluarga dan siapa saja.
Kegiatan itu dimulai dengan peserta terbatas hanya 20 stan. Okto menghubungi calon peserta satu-satu untuk minta pendapat, kira-kira produknya dijual dengan harga berapa. Apakah harga sewa tenda bagi peserta bisa menguntungkan dengan pelaksanaan selama tujuh hari.
“Juga, apa saya untung, karena saya juga menyediakan fasilitas, seperti meja, kursi, tenda, instalasi listrik, penjaga keamanan. Belum lagi harus membayar karyawan saya dan harga sewa tempat kegiatan per hari,” katanya.
Calon peserta juga meminta untuk menghadirkan grup band supaya pengunjung ramai dan betah di lokasi. Okto juga berdiskusi dengan beberapa pelaku usaha kuliner mengenai harga sewa yang tidak memberatkan mereka. Tetapi ia juga tidak rugi atau minus, mesti tidak untung.
“Artinya ada personal yang bisa saya gunakan untuk membiayai kru saya, sebab saya harus bayar listrik, kelola kebersihan, dan makan-minum untuk kru saya selama kegiatan berlangsung, dan bisa membayar entertainment grup band, juga memberikan makan selama kegiatan berlangsung dengan hanya 16 peserta saja dengan harga yang cukup murah Rp1,5 juta untuk satu minggu,” ujarnya.
Pada sesi (session) kedua jumlah peserta membludak, dan Okto menyediakan 30 stan dengan harga sewa dinaikkan mejadi Rp2 juta. Lokasi dipindahkan ke PTC. Pada minggu pertama Februari harga dinaikkan lagi menjadi Rp3,5 juta. Event ini dibuka dengan konsep baru dan nama baru, yaitu “Baku Timba Festival” yang digelar di PTC Entrop dengan jumlah peserta 50 stan selama 10 hari.
Festival berikutnya digelar dan ada yang berlangsung sampai 17 hari, karena banyaknya peminat. Pernah satu sesi bertepatan dengan bulan Ramadan dan Paskah, lalu diberi nama “Rampas”.
Komunitas bola futsal juga mengajak ‘Octow Entertainment’ bekerja sama memeriahkan turnamen futsal di parkiran GOR Cenderawasih dengan mengadakan ‘Baku Timba Festival’ dengan konsep yang sama. Kemudian ‘Baku Timba Festival’ digelar di sebelah Terminal Entrop dengan mengusung sesi yang berbeda menggandeng toko-toko otomotif, dealer mobil dan motor selama 10 hari.
Kegiatan ‘Baku Timba Festival’ terus bergulir mencari tema baru dengan menggandeng wahana bermain menggelar ‘Baku Timba Session Playland and Holiday’ di PTC Lapangan Karang.
“Kami sengaja menciptakan suasana baru di Kota Jayapura, menjadi tren untuk menghibur anak-anak sekolah dengan menyediakan suatu fasilitas yang anak-anak pelajar Kota Jayapura tidak harus menyelesaikan masa liburannya di luar Kota Jayapura. Itu kita laksanakan selama satu bulan, bukan satu minggu,” katanya.
Karena kegiatan ini semakin terkenal, Kabupaten Jayapura juga meminta ‘Baku Timba Festival’ diadakan selama 10 hari di halaman kantor bupati pada Agustus 2023. Permintaan dari daerah lain juga datang, seperti Sarmi, Timika, Manokwari, dan Biak. Di Kabupaten Jayapura, kata Okto, satu hari pengunjung seribu hingga tiga ribu orang dari berbagai kalangan.
Pada saat pelaksanaan di Kabupaten Jayapura, kata Okto, juga banyak terjadi pro dan kontra. Menurutnya Baku Timba hadir sekaligus memberikan edukasi secara khusus kepada masyarakat Papua bahwa ada peluang yang baik sekali, di mana membuka rasa kepercayaan diri OAP.
“Kita bisa bersama-sama, bangkit untuk memotivasi diri kita untuk bisa menjadi pelaku usaha kuliner, bagaimana kita bisa berpacu bersaing dengan saudara-saudara Nusantara yang lain. Karena kita tahu bersama dalam kita berbisnis atau berusaha hampir yang membaca peluang bisnis yang baik itu saudara-saudara kita dari Nusantara. Bagaimana saya mengajak untuk melihat bahwa ‘Baku Timba Festiva’ ini sebagai sarana untuk bisa menghimpun semua kalangan usaha mikro,” ujarnya.
Selama kegiatan di Kabupaten Jayapura, kata Okto, ia mendapat pengalaman ada orang asli Papua yang juga ikut bergabung. Mereka percaya diri untuk menjual produk-produk lokal seperti papeda panas, ikan gabus santan, sayur-sayur lilin, sayur gedi, dan lain-lain. Stan mereka pun dikunjungi. Terlihat tidak terjadi kesenjangan, tapi mulai ada keseimbangan.
“Kita berharap ke depan Baku Timba ini bisa menjadi event yang dapat memberikan nilai tambah, nilai ekonomi untuk kita yang benar-benar mau berusaha dan benar-benar mau ikut ambil bagian dalam kegiatan ‘Baku Timba Festival’,” ujarnya.
Okto mengatakan selama membuat kegiatan ia tidak mendapat sponsor, tapi ia menyediakan fasilitas dan para pelaku usaha kuliner membayar kepadanya.
“Kalau kita bicara terkait hitungan bisnis, ini karena kebetulan semua properti yang digunakan selama pelaksanaan ‘Baku Timba Festival’ ini milik saya sendiri, seperti tenda, meja kursi, instalasi listrik, dengan semua lampu-lampu, kabel dan genset, panggung, sound system, lighting, dari nilai yang diberikan. Kalau kita secara perhitungan bisnis, sebenarnya itu [untungnya] kecil,” ujarnya.
Kepada Wartawan, Okto merinci hitungan-hitungan bisnis penyelenggaraan festival itu dan memperlihatkan kalkulasi di mana semestinya tarif stan jauh lebih tinggi agar bisa lebih menguntungkan. Ia juga tidak memilih mencari sponsor agar para pengusaha kuliner mendapat stan dengan gratis. Baginya membayar stan sebagai cara mendidik pengusaha kuliner agar serius berbisnis dan tidak selalu mengandalkan hal-hal yang gratis.
“Di sini juga saya mau sampaikan bahwa kita pun harus mengedukasi masyarakat kita, jangan orientasi berpikir kita kalau kita masuk dalam satu kawasan kuliner atau UMKM itu digratiskan. Bagaimana kita mau berkembang kalau semuanya digratiskan,” katanya.
Menurut Okto itu adalah cara dia mengedukasi masyarakat pemilik usaha bagaimana cara berbisis dengan baik. Memacu mereka lebih serius lagi mengelola usaha. “Karena kita tahu ada biaya yang kita keluarkan, ada modal yang kita keluarkan, berarti saya harus betul-betul, sungguh-sungguh berjualan,” katanya.(Amatus Rahakbauw/K).