Harianmerdekapost.com., – Di luar sana, senja datang tepat pada waktunya. Sebuah kafe yang bertepatan menyatu dengan bioskop, bangku no.5. Pria separuh muda itu menunjukkan kedua tiket yang telah dipesan. Perempuan itu menatap senjanya ketika Pria muda itu membalik-balik buku menu.
Bahkan, raut wajah Pria muda itu berwarna putih kekuningan yang dibentuk oleh molekul kapur yang memadat.Hasil kerja alam ribuan tahun lamanya, dalam senyap dan tempaan. Lalu keringat penambang batu onix dan regang otot para pengukir batu, menyulap pualam menjadi sebentuk keindahan. Mengilap, lembut, dan dingin. Lelaki dari tanah beku, untuk apa engkau singgah kembali?
Merasa diperhatikan, laki-laki itu tersipu. Ia menyodorkan menu. Perempuan itu menunduk, membacakan.
“Ada long black, cappucino, afogato…kamu pesan apa?” tanya perempuan itu.
“Kamu tidak ingat ya kalau aku tidak minum kopi?” kata laki-laki itu, sekali lagi sambil tersenyum. Ada jarum terasa menusuk di tenggorokan karena merasa diabaikan.
Perempuan itu menunduk. Jangankan jenis minuman yang tak disuka, cara memegang cangkir, gerak otot di tenggorokan saat minum, dan berapa helai rambut yang jatuh di dahi pualam itu, tak sekalipun alpa dari ingatan. Tapi justru perempuan itu ingin menunjukkan sebaliknya. Agar semua menjadi lebih ringan.
“Sparkling water?” tanya perempuan itu, menusukkan jarum lebih dalam. Ia menuliskan menu dengan gemetar. Sampai kemudian, sepasang kepedihan itu bertemu pandang. Ia mengagumi mata kebiruan yang asing itu. Sementara laki-laki itu menemukan persinggahan yang meyakinkan bahwa ada kata ‘pulang’ di kamus para pejalan.
Perempuan itu melambai ke arah pelayan, menyodorkan pesanan. Sejenak mereka diam. Diam yang sarat dengan kata yang sebetulnya akan diungkap seperti pembincangan sebelumnya. Tapi kali ini, apa artinya semua itu jika semuanya hanya berpisah?
“Bolehkah aku menyentuh kulitmu?” tanya perempuan itu. Laki-laki itu diam. Sentuhan akan menjadikan ingatan takkan terhapuskan.
Perempuan itu mengambil tisu tebal di depannya. Pensil di genggamannya menari, membentuk rahang, dahi, hidung, bibir, lalu sepasang mata itu. Ia “menyentuh” dengan detail yang tak bisa ditiru para pembuat sketsa paling mahir sekalipun. Detail para pecinta. Sesaat pensilnya diam di sana. Seperti hatinya yang tak pernah pergi, ia mengembara di sepasang mata terindah yang pernah ditemuinya.
“Hahaha…kenapa kamu tidak ikut saya saja. Kamu bisa duduk di pinggir Sungai Seine lalu membuat sketsa. Aku akan menemanimu, kalau perlu tiap hari,” kata laki-laki itu. Mencoba menguasai dirinya. Bukankah orang-orang dari negaranya distereotipkan sebagai Casanova.
Perempuan itu menelan kegetiran di tenggorokan. Ia sudah memindahkan wajah pualam itu di selembar kertas tisu. Lalu dilipat dengan hati-hati, dan diselipkan ke halaman buku tebal yang sejak tadi tergeletak. Senja dan Cinta yang Berdarah, Seno Gumira Ajidarma, demikian terbaca judulnya.
“Eh, sketsanya bukan untukku?” tanya laki-laki itu kaget.
“Aku tidak sebaik itu,” kata perempuan itu dengan mengerling jahil. Dalam kepedihan yang teramat sangat, bisa menjadi tawa asal kita tak pernah lupa cara tertawa, kalau perlu simpan buku tips dan trik tertawa dalam segala suasana.
Dari kejauhan, perempuan yang menjadi kasir tiket memerhatikan meja itu dengan pandangan menerawang. Ratusan pasangan datang untuk menonton di bioskop tiap hari, tapi ia belum pernah melihat kebersamaan yang begitu memikat sebagaimana di meja itu. Cara laki-laki menatap perempuannya (anggap saja perempuannya) akan menjadikan para istri sejenak lupa punya suami. Sementara itu, pengumuman terdengar dari jauhan. Pintu dua sudah dibuka. Mereka pun beranjak. Botol sparkling water itu itu tersisa setengah, sementara cangkir kopi itu masih utuh tak tersentuh.
Di pintu bioskop, laki-laki itu memberikan dua lembar tiket. Sejenak petugas tiket menatap. Petugas yang sama, yang melayani pembelian tiket di kasir, satu jam sebelumnya.
“Apa ada yang salah?” tanya si perempuan. Ia mengenakan gaun mini tanpa lengan berwarna hijau dan sepatu boots.
“Tidak. Simpan tiket ini. Mungkin Anda akan memerlukannya, suatu hari nanti, untuk sekadar mengingat hari ini,” kata si petugas tiket itu sambil menyobek tiket, lantas memberikan ke laki-laki dan perempuan itu. Mereka saling berpandangan, lalu tertawa lepas. Tertawa, paling tidak itulah ekspresi wajah yang terlihat. Tawa yang demikian terlalu lepas bukankan akan menghasilkan tanya?
“Terima kasih. Ya…ya saya akan menyimpannya,” kata laki-laki itu sambil menepuk pundak si penjaga. Ia memasukkan tiket itu ke saku dada di balik jasnya. Ia menyimpannya, di dadanya yang berdegup lirih. Lantas keduanya masuk ke bioskop, tanpa bergandengan tangan, tanpa berkata. Tapi si penjaga merasakan, ada sebuah ruang, begitu dekat, lebih erat daripada sentuhan.
“Filmnya tak terlalu bagus, tapi semoga menikmati,” kata si petugas. Lelaki itu menoleh, tersenyum. Di matanya yang kebiruan itu, ada kepedihan. Sekuat tenaga ia sembunyikan dengan senyuman. Walau jelas, ia gagal total. Bagaimana ia harus mengusir kepedihan, jika di setiap pertemuan selalu mengisyaratkan perpisahan?