Harianmerdekapost.con – Berbagai tuduhan terkait belum keluarnya surat rekomendasi PPP terkait Pilkada Sumenep 2024 mengarah kepada Kiai Ali Fikri, Ketua DPC PPP Sumenep yang kini tengah berjuang memperoleh dukungan partai berlambang ka’bah itu. Padahal, proses pendaftaran untuk cabup-cawabup sudah semakin dekat.
Mengapa PPP belum juga mengeluarkan surat rekomendasinya? Menurut pakar komunikasi Syamsul Arifin, Kiai Fikri dinilai sulit akan mendapat tiket pencalonan dari Partai Ka’bah itu karena Kiai Fikri dinilai pernah membelot dari instruksi DPP PPP pada pemilihan presiden 14 Februari lalu.
Selain itu, perolehan PPP Sumenep pada pemilihan legislatif 14 Februari lalu yang mengalami penurunan menurut Syamsul Arifin juga akan mempersulit Kiai Fikri mendapatkan tiket.
Sebab, menurutnya, dengan menurunnya perolehan kursi PPP di Sumenep itu, DPP akan melihat bahwa Kiai Fikri bukanlah sosok yang tepat untuk mendapatkan dukungan/tiket politik untuk berkontestasi dalam Pilkada Sumenep.
Pendapat semacam di atas sebenarnya bukan hanya disampaikan oleh Syamsul Arifin, tetapi juga oleh pengamat politik lokal, bla, bala.
Sama seperti Syamsul Arifin, hal yang sama juga disampaikan oleh Hamsun, pengamat politik lokal. Yang juga menilai kesulitan Kiai Fikri mendapat rekomendasi PPP erat kaitannya dengan dugaan pembelotan Kiai Fikri pada Pilpres lalu.
Tidak Benar
Benarkah belum dikeluarkannya surat rekomendasi PPP untuk Kiai Fikri karena Kiai Fikri dinilai pernah mengkhianati partai? Benarkah belum dikeluarkannya surat rekomendasi PPP untuk Kiai Fikri karena Kiai Fikri gagal memimpin PPP Sumenep?
Saya kira, jawaban untuk dua pertanyaan itu adalah ”tidak”. Mengapa?
Pertama, Kiai Fikri tidak pernah mengkhianati keputusan partai. Walaupun pada Pilpres lalu Kiai Fikri pernah menunjukkan dukungannya pada Anies Baswedan, tetapi semua itu dilakukan saat DPP PPP masih belum menyatakan dukungannya pada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dan, setelah DPP PPP resmi menyatakan dukungannya kepada pasan Ganjar-Mahfud, dukungan Kiai Fikri terhadap Anies itu tidak pernah muncul. Jadi, tak ada pengkhianatan yang dilakukan oleh Kiai Fikri.
Bukti bahwa tidak ada pengkhianatan yang dilakukan oleh Kiai Fikri ini disampaikan langsung oleh DPP PPP Admad Baidowi. Menurutnya, seluruh DPC PPP kompak mengikuti instruksi partai mendukung pasangan Ganjar-Mahfud.
Selain itu, juga tak ada bukti kongkrit bahwa Kiai Fikri berkhianat pada keputusan partai. Sejauh ini belum ada sanksi (ringan/berat) yang dijatuhkan oleh DPW atau DPP PPP pada Kiai Fikri terkait tuduhan pengkhianatan itu.
Pada konteks ini, maka jelaslah tuduhan bahwa Kiai Fikri sulit mendapat rekomendasi dari DPP PPP karena dinilai pernah mengkhianati keputusan partai adalah tidak benar.
Kedua, terkait dengan tuduhan bahwa Kiai Fikri gagal memimpin DPC PPP Sumenep, saya kira, tuduhan itu juga sama tidak benarnya. Bahkan, cacat secara logika.
Dikatakan cacat secara logika sebab, sebab dua orang yang katanya adalah pakar komunikasi dan pengamat politik itu hanya mendasarkan pandangannya pada satu kasus saja, yakni menurunnya perolehan kursi Sumenep tanpa mau melihat situasi nasional (umum) yang sedang terjadi. Di mana, untuk pertama kalinya dalam sejarah, PPP gagal masuk parlemen.
Gagalnya PPP masuk parlemen ditingkat nasional itu seharusnya tidak kita lupakan jika kita mau menilai PPP Sumenep secara adil. Bahwa secara nasional, memang ada masalah dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan itu yang tidak bisa ditimpakan kepada satu sosok.
Hal itu penting dilakukan karena partai adalah organisasi berjenjang. Dari DPP hingga DPC. Yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Logikanya seperti ini: jika Anda sakit perut, jangan hanya dinilai bahwa perut Anda yang bermasalah. Sebab, di balik sakit perut yang Anda alami, ada mulut yang salah mengkonsumsi makanan.”
Dan, apalagi, menurunnya perolehan kursi DPRD di Sumenep ini tidak hanya dialami oleh PPP. Tetapi juga oleh partai yang secara basis massa cukup kuat, seperti PAN dan Gerindra.
Dengan demikian, maka adalah tidak adil jika hanya dengan bermodal satu kasus, (penurunan perolehan kursi) sebagai alat untuk menjustifikasi Kiai Fikri sebagai pemimpin partai yang gagal tanpa mau melihat faktor-faktor yang lain.
Jika seperti itu kenyataannya, mengapa PPP juga belum mengeluarkan surat rekomendasi untuk Kiai Fikri? Jawabannya sederhana. Karena mengeluarkan surat rekomendasi bukan perkara mudah, ada banyak pertimbangan yang harus dilakukan. Utamanya terkait dengan syarat mengajukan calon yang mana DPC PPP Sumenep belum memenuhi syarat perolehan suara sebagaimana ketentuan UU 10/2016 tentang Pilkada.
Jikapun DPC PPP memenuhi syarat, surat rekomendasi juga tidak sembarangan bisa dikeluarkan. Masih ada banyak pertimbangan yang harus dilakukan. Seperti potensi kemenangan, kekuatan lawan, dan semacamnya. Itulah sebabnya, partai sekaliber PKB, yang jelas-jelas memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan calon, belum juga mengeluarkan surat rekomendasi untuk kadernya.
Jadi, mari kita ingat, politik itu kompleks. Mengeluarkan keputusan partai tak semudah ngomong ”ini dan itu”. Jika pengamat dan pakar bisa memutuskan diri berbicara apa saja tanpa basis data, partai sebaliknya. Partai butuh data untuk mengeluarkan keputusannya.