Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hiduplah seorang perempuan bernama Suri. Hatinya selembut tanah subur, penuh kasih dan kepedulian terhadap siapa pun di sekelilingnya.
Suri adalah anak seorang petani sederhana yang mengajarinya tentang nilai kesederhanaan dan menghargai tanah. Tanah adalah hidup, begitu sering bapaknya mengingatkan. Dan hati yang subur, pikir Suri, seperti tanah, mampu menumbuhkan kehidupan bagi orang lain.
Setiap pagi, Suri selalu menyisihkan waktu untuk pergi ke ladang, melihat tunas-tunas kecil yang mulai muncul di antara barisan tanaman cabai dan tomat.
Setiap helai daun yang tumbuh, setiap tetes embun yang menggantung, mengajarkan Suri tentang ketekunan dan kasih sayang. Hatinya terhubung dengan ladangnya, seolah ia dan tumbuhan-tumbuhan itu bernapas dalam satu ritme.
Namun, tidak semua orang di desanya memahami kedekatan Suri dengan ladangnya. Mereka sering menganggap pekerjaan bertani sebagai hal yang tak bergengsi, kurang menguntungkan.
Tetangga sebelah, Pak Dirman, selalu berkata bahwa Suri membuang waktunya di ladang, dan sebaiknya ia pergi ke kota, mencari pekerjaan yang lebih “terhormat.”
Suatu hari, musim hujan tiba, membawa badai yang lebih dahsyat dari biasanya. Hujan tak henti-hentinya mengguyur ladang Suri, menyebabkan banjir dan merusak banyak tanaman yang telah ia rawat dengan cinta.
Tanaman cabai yang kemarin terlihat hijau dan segar kini terkulai lemah, tak mampu bertahan dari derasnya air yang datang bertubi-tubi.
Suri merasakan kesedihan yang dalam. Tapi ia tahu, seperti tanaman, hatinya harus tetap subur dan tak berbatu—tidak dipenuhi kemarahan atau kebencian.
Saat orang-orang mendatanginya dan memberi kata-kata simpati, bahkan ada yang menyalahkannya karena memilih hidup sebagai petani, Suri hanya tersenyum, mengucapkan terima kasih, dan melanjutkan pekerjaannya.
Suatu malam, dalam keheningan, Suri berbicara pada Tuhan, memohon kekuatan untuk melanjutkan hidupnya. Ia tak menginginkan keberuntungan atau kekayaan. Ia hanya ingin hatinya tetap subur, tak tergoyahkan oleh ujian yang datang.
“Jika ladangku gagal, biarkan hatiku yang berbuah,” doanya dalam suara lembut.
Keesokan harinya, tanpa diduga, beberapa warga desa datang ke rumah Suri. Mereka melihat tekadnya yang tak luntur meski dilanda musibah. Beberapa warga mulai menawarkan bantuan, membawa bibit tanaman baru, bahkan ikut membantu menata kembali ladang yang hancur.
Hari demi hari berlalu, dan tanaman-tanaman baru mulai tumbuh. Ladang itu seolah menggambarkan hati Suri yang tetap subur. Keikhlasannya mengilhami desa itu, menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari hasil, melainkan dari cara seseorang menjaga hatinya tetap subur dan penuh cinta.
Pada akhirnya, Suri tak hanya berhasil membangkitkan kembali ladangnya, tetapi juga menumbuhkan semangat gotong royong yang lama hilang di desa itu. Bagi Suri, suara hati yang subur lebih berharga daripada ladang yang paling subur sekali pun. Itulah yang membuat hidupnya bermakna, sekaligus menjadi teladan bagi desanya.(ARK)
Editor : Amatus.Rahskbauw.K