“Kasih di Bukit Golgota: Perjalanan Ibu Pdt. Emma Wanma dari Ufuk Timur”

Di suatu pagi yang sunyi namun penuh damai, langkah kaki Ibu Pdt. Emma Wanma menapaki jalur setapak menuju puncak Bukit Golgota, atau yang juga disebut Buki Tengkorak oleh masyarakat setempat. Dari ufuk Timur Papua Barat, ia datang bukan hanya sebagai seorang hamba Tuhan, tetapi sebagai seorang pencari kasih yang sejati, yang hendak menyaksikan kembali cinta Allah dalam keheningan alam ciptaan-Nya.

Sesampainya di puncak bukit, pandangannya menyapu seluruh lanskap di hadapannya—hamparan hijau, langit biru yang luas, dan angin yang sejuk menyentuh kulit wajahnya. Namun yang paling menyentuh hatinya adalah suara-suara merdu yang datang dari segala penjuru. Burung-burung kecil, dengan bebas dan polos, melantunkan nyanyian alam yang tak tertandingi. Setiap kicauan terdengar seperti pujian dari surga—“Suci, suci, suci Tuhan Allah yang Mahakuasa!”

Ibu Emma menundukkan kepala. Matanya basah oleh air mata yang tak bisa ia tahan. Bukan karena kesedihan, melainkan karena betapa kecil dan tidak layaknya manusia dibandingkan dengan kasih Tuhan yang begitu besar. Ia sadar—kasih itu bukan hanya untuk mereka yang ada di tempat tinggi, di kota-kota besar, atau di tengah keramaian dunia. Kasih itu juga menjangkau ia yang datang dari ujung timur negeri ini, dari tanah Papua Barat yang sering terlupakan.

Di tengah pujian alam, ia pun teringat akan perjalanan hidupnya: rintangan, penolakan, dan tantangan yang pernah ia hadapi sebagai seorang perempuan hamba Tuhan di tanah yang keras. Tapi kini, di puncak bukit ini, semuanya menjadi jelas. Ia diingatkan bahwa tidak ada tempat yang terlalu jauh bagi kasih Tuhan untuk menjangkau. Dari Golgota yang kudus ini, Ibu Emma memahami—salib bukan hanya lambang penderitaan, tapi lambang kemenangan kasih.

See also  Sering di Keluhkan Masyarakat, Ruas Jalan Sumput-Driyorejo Akan di Perbaiki Tahun Ini

Saat ia berdiri memandang salib kecil yang berdiri tegak di puncak bukit, hatinya berdoa: “Tuhan, jadikan aku seperti burung-burung ini. Yang bebas memuji tanpa ragu. Yang hidup hanya untuk kemuliaan-Mu.”

Perjalanan rohani itu tidak hanya mengubah hatinya, tetapi mengubahkan cara pandangnya. Ia turun dari Bukit Golgota dengan mata baru—melihat dunia bukan sebagai tempat gelap penuh dosa, tetapi ladang kasih yang sedang Tuhan pulihkan. Ia ingin mengajak siapa pun yang lelah, putus asa, atau merasa tidak layak, untuk datang dan melihat kasih itu. Kasih yang tidak memilih tempat. Kasih yang dari surga turun hingga ke bumi. Kasih yang mengubah hidup.

Dari ufuk Timur, dari seorang ibu pendeta sederhana, kita belajar bahwa terkadang, untuk memahami besarnya cinta Tuhan, kita hanya perlu diam… dan mendengarkan pujian burung-burung di atas bukit.

Editor Amatus.Rahakbauw.K

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *