Malam itu, langit Papua Barat diselimuti mendung. Hujan turun perlahan, menyanyikan lagu alam yang kudus bersama gemercik dari lembah, gunung, dan laut. Suara tetesan hujan yang jatuh di atap gereja menjadi iringan syahdu dalam Ibadah Malam Paskah di GKAI Bait-El Sowi 1, Manokwari.
Dalam keheningan yang khidmat, jemaat berkumpul, mengenang sengsara dan kebangkitan Kristus. Suara hujan seperti ikut memuji, mengiringi setiap doa dan pujian yang naik ke hadirat Allah.
Di mimbar, Ibu Pdt. Emma Wanma berdiri dengan penuh keyakinan, menyampaikan firman Tuhan dengan suara lembut namun penuh kuasa.
“Tanpa salib Kristus, hidup tak berarti,” ucapnya pelan, namun menyentuh setiap hati yang mendengar. “Di atas salib itulah kasih Allah dinyatakan. Kematian-Nya membuka jalan keselamatan, dan kebangkitan-Nya memberi kita harapan akan hidup kekal.”
Alam Papua pun seakan bersaksi. Dari gunung-gunung yang berdiri megah hingga laut yang luas terbentang, semuanya bersuara memuliakan Dia—Tuhan yang mati dan bangkit bagi umat-Nya di Bumi Cenderawasih.
Malam itu, bukan sekadar mengenang sejarah. Tapi menjadi perjumpaan pribadi dengan kasih Allah yang hidup, yang menebus dan mengubah hidup. Dan benar, tanpa salib Kristus, hidup tak akan pernah menemukan artinya yang sejati.
Editor Amatus.Rahakbauw.K