Malam telah lama menutup tirai kotanya ketika Arman menyiapkan peralatan kerjanya. Kamera, buku catatan, dan ponsel adalah sahabatnya malam itu. Di balik riuhnya malam, ketika sebagian besar orang tidur atau mengistirahatkan diri, Arman turun ke jalan, mencari cerita. Dunia malam bukanlah tempat untuk semua orang, tapi Arman, seorang jurnalis berpengalaman, terbiasa menelusuri jalanan saat gelap menyelimuti.
Langit di atas kota nampak muram, dan hujan rintik-rintik turun, menambah nuansa suram yang samar-samar. Dia menatap jalan-jalan yang penuh kerlip neon, menyaksikan orang-orang yang bergerak seperti bayang-bayang, masing-masing punya cerita. Langkahnya terhenti di sebuah kafe kecil di ujung jalan. Tempat itu tidak mencolok, tapi dia tahu di situlah beberapa cerita menarik sering kali dimulai.
Di dalam, aroma kopi bercampur asap rokok. Pengunjungnya beragam, dari musisi jalanan, seniman, hingga pekerja malam yang mencari waktu tenang. Arman menyapa bartender, seorang pria paruh baya yang mengenalnya dengan baik.
“Sedang mencari cerita apa malam ini, Arman?” tanyanya sambil membersihkan gelas.
Arman tersenyum tipis. “Apa saja yang bisa kubawa pulang. Ada yang menarik belakangan ini?”
Bartender itu tertawa kecil. “Kau tahu, malam punya banyak rahasia. Tadi malam, ada orang asing yang tampaknya membawa banyak cerita. Duduk di pojok sana.”
Arman menoleh ke arah pojok ruangan. Di sana, seorang wanita dengan rambut panjang dan mantel gelap duduk sendirian. Dia tampak fokus, menulis sesuatu di kertas kusut di depannya. Arman merasakan desakan naluri jurnalistiknya, seolah ada sesuatu yang harus digali. Dia menghela napas dan memutuskan mendekat.
“Permisi, boleh saya duduk?” Arman membuka percakapan dengan ramah.
Wanita itu mengangkat wajahnya, tersenyum tipis, dan mengangguk. “Silakan. Apa yang kau cari malam ini?”
“Namaku Arman, aku jurnalis,” jawabnya. “Aku menulis tentang cerita-cerita di balik dunia malam. Aku bertanya-tanya, apakah kau punya cerita yang bisa kubawa?”
Wanita itu terdiam, seolah mempertimbangkan sesuatu. Setelah beberapa saat, ia mulai berbicara. Namanya, Sara, seorang penyanyi di bar yang dulu pernah terkenal di masanya. Malam itu adalah malam terakhirnya di kota; ia akan pergi meninggalkan semua, termasuk kenangan-kenangan pahit yang tertinggal. Ia berbicara tentang cintanya yang kandas, tentang mimpi-mimpinya yang tak kunjung terwujud, dan tentang kesepian yang selalu menyergap di setiap malam.
Arman mendengarkan, mencatat setiap kata, mencoba merangkai potongan-potongan cerita yang ia sampaikan. Sara bukan hanya berbicara tentang dirinya, tetapi juga tentang banyak orang lain yang terjebak di dunia malam, mengais mimpi dan harapan yang sering kali sirna di tengah kelam.
Ketika malam semakin larut, Sara menatap Arman dengan senyum lirih. “Terima kasih telah mendengarkan,” katanya. “Mungkin, lewat tulisanmu, orang akan mengerti bahwa dunia malam bukan hanya tentang kesenangan semata.”
Arman mengangguk. Dia mengerti bahwa di balik gemerlapnya, dunia malam menyimpan sisi-sisi kelam yang jarang disorot. Ketika Sara pergi, Arman menatap kursinya yang kosong dengan perasaan campur aduk. Malam itu, ia tidak hanya mendapatkan sebuah cerita, tetapi juga mengingatkan dirinya bahwa di dunia ini, setiap orang memiliki cerita—dan tidak semuanya berakhir bahagia.
Dengan langkah mantap, Arman meninggalkan kafe, siap membawa cerita Sara kepada dunia. Dalam dinginnya malam, ia berjalan dengan tekad, memastikan bahwa kisah dunia malam, tak peduli sekelam apa pun itu, akan tetap memiliki tempat di lembaran-lembaran esok hari.(ARK).
Editor : Amatus.Rahakbauw.K