Epen mengerahkan seluruh ketuatan tenaganya untuk dapat mendorong gerobak sampah yang berwarna Orens miliknya hingga meluncur cepat lebih kencang dari yang biasanya.
Bersarungkan pakaian kumal compang-camping yang Epen kenakan basah kuyup dikarenakan keringat. Napasnya tersendat-sendat bahkan pula ototnya yang tampak jelas mencuat dari balik lapisan kulit hitam akibat terpapar sengat matahari disetiap hari.
Epen tidak menghiraukan barang bawaan yang terlalu berat itu. Terlintas di benak Epen,ingin cepat sampai di gubuk miliknya yang tepat berdampingan dengan tempat penampungan sampah, kemudian Epen bergegas menemui istrinya, Ningsih.
“Bu … Ibu …” panggil Epen dengan setengah teriak ketika sampai di gubuknya yang amat sederhana. Sebuah bangunan yang sangat rapuh dan, terbuat dari potongan-potongan kayu triplek tipis. Atapnya pun bolong tidak karuan.
“Nggih Pak …” sahut istrinya tengah asik memilah botol plastik untuk dijual ke pengepul esok paginya. Wanita paruh baya dengan warna kulit kusam segera berlarian mendatangi asal suara tersebut. Tak biasanya Epen memanggil dirinya dengan nada seperti itu.
Alhamdulillah, Bu! Hari ini Bapak dapat rejeki banyak!” serunya bersemangat. Air mukanya menunjukkan kegembiraan yang memuncak. Bahkan ia pun menyambar kantong plastik hitam besar dari kait gerobak dan bergegas cepat-cepat masuk ke dalam gubuk. Istrinya pun mengikutinya dengan penuh rasa penasaran.
“Oalah, Gusti! Matur sembah nuwun” pekik Ningsih melihat beberapa kotak nasi dikeluarkan dari kantong plastik.
Epen pun tak kalah mendapati reaksi dari istrinya. Sudah dua hari mereka makan makanan yang diperoleh dari tempat sampah sekitar di sekitar pemukiman kompleks.
Makanan itu terasa hambar di lidah dan berbau busuk, hampir basi. Meski begitu, mereka selalu panjatkan rasa syukur, tak pernah memandang besar kecilnya rejeki yang mereka dapatkan.
“Bapak dapat dari mana makanan ini?”
“Ayo cepat dimakan, Bu. Nanti saja Bapak ceritakan.
Sekarang kita makan sama-sama. Enak-enak loh Bu. Jangan lupa berdoa. Alhamdulillah doa kita didengar kata,” Epen berikan nasi dan lauk utuh kepada istrinya. Sedangkan ia memilih nasi sisa yang tak habis dimakan.
“Loh kok cuma dilihat toh, Bu? Ayo cepat dimakan” tegas Epen melihat istrinya itu hanya terdiam memandangi isi kotak nasi di tangannya.
Sesekali Ningsih dekatkan hidungnya ke makanan itu. Memastikan apakah ia sedang bermimpi atau tidak.
“Eman’e, Pak. Buat besok aja yo?” jawabnya lirih memelas. Kedua mata letih itu berkaca-kaca menahan haru.
“Ealah, Bu. Ibu ini dikasih rejeki kok ditolak? Nda baik itu. Besok sudah ndak enak nasinya. Ayo toh, dimakan” ujar Epen sambil mengunyah makanan. Sebenarnya ia juga sayang dan enggan menyentuh potongan ayam bekas gigitan orang itu.
Buktinya, ia lebih banyak makan nasi ketimbang lauk pauknya. Menyisakan lauk terenak belakangan.
“Nggih Pak” setelah dibujuk, dimakan juga hidangan itu perlahan. Menikmati tiap kunyahan dalam mulutnya. “Eh, iyo ‘e Pak. Uenak yo! Pesen makanan kayak gini, pasti mahal banget yo Pak”
Untuk sejenak, indera pengecap dan perut mereka merasakan nikmat yang tak terkira. Mungkin bagi kita, hidangan itu nilainya tak seberapa. Namun, untuk mereka, sajian itu luar biasa istimewa.
Sesudah hidangan habis termakan, dengan terampil Ninik membereskan kotak nasi. Epen menyandarkan tubuhnya di salah satu sudut ruangan dan, meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal.
“Jadi begini, Bu. Tadi kebetulan Bapak lewat lapangan. Nah di sana lagi ada kampanye. Bapak pikir, pasti banyak sampah yang bisa dibawa pulang.
Ya sudah, Bapak korek tempat sampah di sana. Tidak tahu, tiba-tiba Bapak didatangi orang berseragam kampanye.
Terus orang itu kasih nasi kotakan sama nyelipin amplop. Ya Bapak terima. Nah, waktu mau pergi dari sana, kok Bapak lihat banyak kotakan nasi yang tidak dimakan.
Ya Bapak angkut sekalian. Kan lumayan toh Bu? Nasinya juga masih bagus” ungkap Epen kepada istrinya yang terlihat serius mendengarkan kisah suaminya.
“Ini uangnya, Bu. Cukup untuk keperluan sebulan ndak?” Ia serahkan amplop berisi satu lembar uang berwarna biru.
“Alhamdulillah” sahut Ningsih menyambut amplop putih dengan hati suka cita. “Uangnya cukup kok Pak. Asal Bapak ndak beli rokok banyak-banyak. Besok Ibu ke pasar beli beras sama telor nggih, Pak?”
“Iya, Bu” jawab Epen mengiyakan. “Tapi kenapa yo Bu, mereka jadi dermawan banget sama rakyat miskin seperti kita ini cuma waktu kampanye? Habis masa kampanye, mana ada orang kaya keluar masuk pasar atau datang ke tempat kotor? Harga sembako yo ndak berubah, malah tambah mahal” Epen menengadah setengah melamun.
Ia berharap, suatu saat nanti, orang-orang kaya yang berpendidikan tinggi itu dapat mengubah bangsa lebih baik. Tidak mementingkan diri sendiri.
“Ya sudah lah, Pak. Yang penting kita selama hidup berbuat baik, udah cukup. Ndak usah neko-neko seperti mereka. Banyak uang tapi pusing ya sama aja, Pak.
Rejeki juga sudah ada yang atur. Sekarang Bapak istirahat aja yo. Besok kita harus bangun pagi-pagi lho Pak” ujar sang istri seraya membantu melepaskan pakaian lusuh suaminya penuh kasih sayang dan kehati-hatian.