Pada Jumat, 22 November 2024, pasangan DOAMU (Dominggus Mandacan dan Mohamad Lakotani) mengunjungi Distrik Neney, Kabupaten Manokwari Selatan, untuk berdialog langsung dengan warga dari tujuh kampung. Dalam balai kampung yang sederhana, suara warga yang penuh emosi dan harapan menyelamatkan suasana.
Seorang ibu bernama Maria memberanikan diri berdiri di tengah kerumunan. Mata berlinang air mata saat ia memulai suara serak, “Bapak, kampung kami sudah terlalu lama gelap.
Anak-anak kami belajar dengan pelita. Apakah kami salah berharap terlalu banyak untuk listrik di sini?”
Ruangan tiba-tiba senyap. Semua mata tertuju pada Maria, yang menggenggam erat ujung kainnya. Dominggus Mandacan, dengan sorot mata penuh empati, menjawab dengan lembut, “Ibu, harapan ini adalah hak Ibu dan warga Neney.
Kami akan memastikan kampung ini mendapat cahaya, karena pendidikan anak-anak di sini adalah masa depan kita semua.”
Keluhan Maria membuka luapan emosi warga lainnya. Mereka berbicara tentang jalan berlumpur yang memutus akses ke dunia luar, sulitnya air bersih, dan fasilitas kesehatan yang nyaris tak ada. Setiap suara yang keluar adalah tangisan hati yang telah lama terpendam.
Mohamad Lakotani, dengan suara mantap, menutup dialog dengan kata-kata penuh janji,
“Kami datang ke sini bukan hanya untuk mendengar, tapi untuk berkomitmen. Kami berjanji, Neney tidak akan lagi menjadi cerita yang terabaaikan. Bersama, kita akan bangkit.”
Pertemuan itu diakhiri dengan doa bersama dan pelukan haru. Namun, di balik senyum yang tersungging, air mata Maria dan sorot mata anak-anak kecil yang berdiri di depan pintu balai kampung menjadi pengingat bahwa harapan kini berada di tangan janji yang baru saja diucapkan. Bagi warga Neney, ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk tidak dilupakan.(ARK).
Editor: Amatus Rahakbauw K