Saya seorang fotografer lepas. Profesi ini bukan sekedar pekerjaan, tapi panggilan hidup. Setiap jepretan lensa adalah sebuah cerita, setiap foto adalah bukti dedikasi. Namun, hari ini saya kecewa dengan seseorang yang memahami keterampilan dan kontribusi saya.
Namanya Cari sendiri, kenalan lama yang suka mengulas segala hal di media sosial. Tanpa ragu, ia sering berbicara seolah tahu segalanya. Komentarnya hari ini benar-benar memancing emosi saya: “Apa profesimu? Mana buktinya? Jangan asal bicara muluk tanpa berkontribusi.”
Komentar itu muncul pagi ini, tepat pukul 07.30, saat saya baru saja mengunggah hasil karya saya – foto seorang nelayan tua yang sedang memperbaiki jaring di pantai. Saya bangga dengan hasilnya, tetapi mencari sendiri langsung muncul sarkasme.
Saya membaca komentar-komentar di studio miliknya, sebuah ruangan kecil yang dipenuhi kamera, lampu, dan laptop. Tempat ini menjadi saksi bisu perjuangan saya selama bertahun-tahun, mulai dari menjadi wartawan kecil hingga akhirnya dipercaya memotret pameran-pameran internasional.
Mengapa saya merasa perlu menanggapi pencarian saya sendiri? Karena saya ingin menjelaskan bahwa profesi seseorang bukanlah sesuatu yang dapat dinilai hanya dari kata-kata. Profesi adalah tentang dedikasi, kontribusi, dan bukti nyata. Dion tidak tahu perjuangan saya, tetapi dia merasa berhak untuk menghakimi. Saya harus menjelaskan, bukan untuk membela diri, tetapi untuk menegakkan martabat profesi ini.
Saya memutuskan untuk tidak langsung membalas komentarnya di media sosial. Sebaliknya, saya mengundangnya untuk datang ke studio sore ini. Saya ingin dia melihat langsung cara saya bekerja dan apa yang saya hasilkan.
Saat Dion datang, aku menyambutnya dengan senyuman meskipun hatiku masih sedikit panas. Di hadapannya, aku membuka portofolioku. Aku menunjukkan foto demi foto, mulai dari pengambilan gambar sederhana di desa-desa terpencil hingga proyek besar untuk majalah internasional.
“Ini hasil kerjaku, Dion,” kataku tegas. “Bukan sekadar pamer, tapi bukti dedikasi selama bertahun-tahun.”
Dia menjawab. Mungkin aku tidak menyangka akan menanggapinya dengan begitu dewasa.
“Saya tidak pernah membicarakan profesi seseorang,” lanjut saya, “tetapi saya juga tidak bisa tinggal diam jika ada yang asal bicara tanpa mengetahui kebenarannya.”
Setelah beberapa saat, Dion akhirnya angkat bicara. “Maaf, saya terlalu cepat menghakimi. Sekarang saya sadar bahwa profesi bukan tentang apa yang terlihat di luar, tetapi tentang apa yang dihasilkan dan dampaknya terhadap orang lain.”
Aku mengangguk. Jadi, kali lain, sebelum kamu berbicara, pastikan kamu tahu apa yang kamu komentari.”
mendapati diriku pergi dengan wajah yang lebih lembut, dan aku kembali bekerja. Hari itu, aku belajar satu hal: terkadang, bukti lebih kuat dari seribu kata.
—
Pesan moral:
Jangan pernah menghakimi atau menepati profesi orang lain tanpa memahami perjuangan mereka. Kata-kata tanpa bukti hanyalah omong kosong, tetapi tindakan nyata selalu berbicara lebih keras.
Editor : Amatus Rahakbauw K