Tolak Kebiri Kimia, Wakil Bupati Sumenep Dinilai Langgar Batas Kewenangan

Tolak Kebiri Kimia, Wakil Bupati Sumenep Dinilai Langgar Batas Kewenangan
Wakil Bupati Sumenep, KH Imam Hasyim. (Foto: Istimewa)

Harianmerdekapost.com – Sumenep, Madura, Jawa Timur – Pernyataan Wakil Bupati Sumenep, KH Imam Hasyim, yang secara terbuka menolak penerapan hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak di Kangean, memantik gelombang kritik.

Sikap tersebut dinilai problematik karena datang dari pejabat eksekutif yang justru dianggap melampaui batas kewenangannya dengan mengomentari putusan pengadilan yang telah dijatuhkan.

Praktisi hukum Diyaul Hakki menegaskan, sebagai bagian dari unsur pemerintah daerah, Wakil Bupati semestinya menjaga jarak dari substansi putusan hakim yang bersifat final dan mengikat.

“Sebagai pejabat pemerintah, Kyai Hasyim seharusnya tidak banyak memberikan pernyataan terkait putusan hakim. Pertama, itu bukan domain beliau sebagai pejabat eksekutif. Kedua, dalam hukum dikenal asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkannya,” ujar Diyaul, Selasa (16/12).

Ia menekankan bahwa pidana tambahan berupa kebiri kimia bukanlah kebijakan serampangan, melainkan instrumen hukum yang secara sadar disiapkan negara untuk merespons kejahatan seksual tertentu yang diklasifikasikan sebagai extra ordinary crime.

“Saya memang belum membaca secara utuh pertimbangan majelis hakim, tetapi dari amar putusan terlihat adanya perbedaan dengan tuntutan jaksa, termasuk penerapan ultra petita. Namun dalam perkara pidana, hal itu bukan persoalan hukum,” jelasnya.

Managing Director Lexora Law Chambers tersebut menilai kebiri kimia justru dirancang sebagai langkah preventif agar pelaku tidak kembali mengulangi kejahatannya setelah bebas dan kembali hidup di tengah masyarakat.

“Hukuman tambahan kebiri kimia adalah instrumen negara untuk menekan residivisme, dengan persyaratan yang sangat ketat dan hanya diterapkan pada jenis kejahatan tertentu,” tegas putra daerah asal Saobi, Kangean itu.

READ  Festival Ketupat 2025: Upaya Pemkab Sumenep Lestarikan Tradisi Tellasan Topak

Diyaul juga menilai penolakan Wakil Bupati terkesan tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan mekanisme hukum yang berlaku. Pasalnya, kebiri kimia tidak serta-merta dieksekusi dalam waktu dekat.

“Pelaksanaan kebiri kimia baru dilakukan setelah terpidana menyelesaikan pidana pokok 20 tahun penjara. Itu masih sangat lama. Ditambah lagi, terdakwa masih memiliki hak menempuh banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Jadi terlalu dini jika Wakil Bupati langsung menyatakan penolakan,” katanya.

Lebih lanjut, ia membantah anggapan bahwa hukuman berat bertentangan dengan prinsip pertobatan yang sering dijadikan alasan untuk menolak kebiri kimia.

“Justru hukuman berat memberi ruang bagi terdakwa untuk benar-benar memperbaiki diri sebelum kembali ke masyarakat. Negara berkewajiban memastikan bahwa saat narapidana bebas, ia tidak lagi menjadi ancaman dan tidak mengulangi kejahatannya,” ujarnya.

Dalam konteks kejahatan seksual terhadap anak, Diyaul menegaskan bahwa kepentingan perlindungan korban dan pencegahan pengulangan kejahatan harus ditempatkan di atas pertimbangan personal pelaku.

“Penjahat tetaplah penjahat. Negara wajib menjamin keamanan masyarakat. Kebiri kimia adalah salah satu cara negara memastikan pelaku kekerasan seksual dapat kembali ke masyarakat tanpa mengulangi perbuatannya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Bupati Sumenep KH Imam Hasyim menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap hukuman kebiri kimia bagi terdakwa kasus kekerasan seksual anak di Kangean.

“Sebaiknya tidak dilaksanakan hukuman kebiri. Beri kesempatan untuk bertobat dengan hukuman yang berat, seperti divonis sekian tahun penjara,” ujarnya, Senin (15/12).

Ia beralasan bahwa kebiri kimia dapat memutus kemungkinan pelaku memiliki keturunan di masa depan, serta menekankan pendekatan kemanusiaan dan pertobatan dalam penjatuhan hukuman.

“Kalau sampai dikebiri, berarti memutus mata rantai untuk memiliki keturunan. Siapa tahu dia bertobat, karena kita tidak tahu isi hati seseorang. Allah Maha Penyayang,” katanya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *