Harianmerdekapost.com, banyuwangi-Jatim,- Hingga awal Oktober ini, sekitar ribuan guru TK, SD, dan SMP di Banyuwangi belum menerima gaji yang jumlahnya diperkirakan mencapai hampir Rp.40 miliar. Padahal, dana perimbangan dari pemerintah pusat sudah lama ditransfer, yang sejatinya diperuntukkan untuk kebutuhan gaji ASN, termasuk guru.
Ini tentu menimbulkan pertanyaan serius: mengapa di Banyuwangi, gaji yang biasanya masuk ke rekening setiap tanggal 1 awal bulan justru tersendat? Di hampir semua daerah lain di Indonesia, guru selalu diprioritaskan dan gajinya cair tepat waktu. Itu bukan sekadar kewajiban birokrasi, melainkan bentuk penghormatan dan kepedulian negara terhadap profesi mulia.
Lebih jauh, Banyuwangi sebenarnya sangat mampu membayar gaji guru hingga akhir tahun. Tercatat ada dana hampir Rp.1 triliun yang masih “ngendap” di BPKAD dan belum terserap. Belum lagi, tahun ini pemerintah daerah melakukan penarikan utang sebanyak dua kali. Dengan kondisi kas daerah yang sebenarnya cukup, alasan apa yang membuat hak guru justru tidak segera dibayarkan?
Jika benar demikian, ada dua kemungkinan besar yang patut dicurigai: pertama, lemahnya tata kelola keuangan daerah; kedua, adanya kebijakan yang tidak berpihak pada prioritas utama yakni kesejahteraan pegawai negeri sipil khususnya guru. Keduanya sama-sama berbahaya karena merugikan publik, merusak kepercayaan, dan menunjukkan kegagalan manajemen fiskal daerah.
Transparansi menjadi kebutuhan mendesak. Pemerintah daerah wajib memberi penjelasan terbuka kepada publik, terutama para guru yang kini menunggu hak mereka. Jangan sampai tertundanya gaji guru menjadi preseden buruk dan bukti bahwa pengelolaan keuangan daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Guru adalah pilar pendidikan bangsa. Menunda gaji mereka sama artinya menurunkan martabat profesi dan melemahkan semangat pengabdian. Apakah ini bentuk penghargaan kita terhadap mereka?
Opini ini ditulis oleh:
Direktur Pusat Kajian dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) Banyuwangi, Mohammad Amrullah
(Tim)