Harianmerdekapost-Pasuruan – Jika di lereng Barat Gunung Penanggungan terdapat Petirtaan Jolotundo, maka di lereng Timur Gunung Penanggungan dan ditempuh perjalanan selama 25 menit ketika keluar dari arah tol Taman Dayu. Terdapat sebuah petirtaan suci yang hingga kini masih terjaga kelestarian serta budayanya. Petirtaan ini disebut dengan Petirtaan Belahan. Bertempat di Dusun Belahan Jowo, Desa Wonosunyo, Kec. Gempol, Kab. Pasuruan.

Petirtaan ini dibangun oleh Raja Airlangga pada masa Kerajaan Kahuripan abad ke-11 tahun 1009 tahun rahub sinahub saka 931. Menjelang akhir masa pemerintahan Raja Airlangga,
ia memilih untuk menjadi seorang pertapa. Masyarakat mempercayai bahwa tempat bertapa Raja Airlangga adalah di Gunung Penanggungan.
Salah satu peninggalannya yakni, sebuah petirtaan suci. Petirtaan Belahan ini menjadi tempat khusus bagi Raja Airlangga untuk melakukan meditasi, pembersihan spiritual, dan tempat pemandian bagi para selirnya.
Masyarakat di sekitar Kec. Gempol, Kec. Pandaan, dan Kec. Prigen biasanya menyebut
Petirtaan Belahan ini dengan Sumber Tetek. Hal ini dikarenakan Petirtaan Belahan memiliki dua arca, yakni arca Dewi Laksmi dan Dewi Sri. Di bawah arca Dewi Laksmi dan Dewi Sri terdapat sebuah kolam pemandian berukuran 6x4m.
Namun, di akhir tahun 2020 Kepala BPCB Jatim, Zakariya Kasimin melarang untuk mandi di kolam tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan kesakralan situs Petirtaan
Belahan. Seluruh bagian kolam terbuat dari batu andesit, sementara itu dinding petirtaan tersusun dari batu bata dan batu andesit.
Pada dinding sebelah barat, terdapat tiga relung yang digunakan untuk meletakkan arca.
Di relung kiri berisi arca Dewi Laksmi, relung tengah ukurannya relatif kecil dan tidak diisi arca.
Namun, menurut pemaparan Wariyono selaku juru kunci, dahulu terdapat patung Dewa Wisnu menunggangi burung garuda yang merupakan perwujudan Raja Airlangga.
Hal ini dikarenakan semasa hidupnya Raja Airlangga menganut ajaran Dewa Wisnu.
Akan tetapi, saat ini patung Dewa Wisnu tersimpan di Museum Purbakala Trowulan, Mojokerto.
Di relung kanan berisi arca Dewi Sri yang memancurkan air dari kedua payudaranya. Di sebelah relung arca Dewi Sri, terdapat relief laki-laki menggunakan sorban, berperut buncit, memakai upawita (perhiasan berupa jalinan rantai yang dikenakan melintang pada batang tubuh), serta dikelilingi oleh hiasan sulur di kanan dan kirinya.Arca Dewi Laksmi mengeluarkan sumber air dari payudaranya. Sebaliknya, arca Dewi Sri tidak mengeluarkan sumber air. Namun, menurut Wariyono, selaku juru kunci di Petirtaan
Belahan ia menyatakan bahwa dahulu arca Dewi Sri juga mengeluarkan sumber air dari tangannya tetapi dalam skala kecil. Hal ini dikarenakan adanya pergeseran tahun yang mengakibatkan kerenggangan bata.
Secara makna simbolik, arca Dewi Laksmi merepresentasikan sumber kehidupan dan kesuburan. Masyarakat sekitar memandang bahwa sumber air yang mengalir dari payudara arca
Dewi Laksmi melambangkan perlindungan dan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya.
Air yang terus mengalir juga menyiratkan makna bahwa kasih sayang seorang ibu tidak akan pernah putus.
Arca Dewi Sri dipercaya sebagai lambang padi yang menggambarkan pemberi rezeki dan kesuburan. Kedua figur ini memperkuat pemaknaan spiritual masyarakat terhadap alam sebagai simbol yang mengayomi dan memberi kehidupan.
Bagi masyarakat sekitar, Petirtaan Belahan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Biasanya mereka membawa beberapa galon atau jerigen untuk mengisinya dengan air yang mengalir dari arca Dewi Laksmi. Tak hanya masyarakat sekitar, seorang atau kelompok yang mengunjungi Petirtaan Belahan juga membawa jerigen masing-masing untuk diisi air.
Mereka memiliki keyakinan bahwa air dari Petirtaan Belahan memiliki khasiat tertentu.
Sumber mata air Petirtaan Belahan yang bersumber dari lereng Timur Gunung Penanggungan, berarti sama halnya dengan Petirtaan Jolotundo yang sumber airnya juga berasal dari lereng Barat Gunung Penanggungan. Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa kadar air di Petirtaan Belahan tidak jauh berbeda dengan kadar air di Petirtaan Jolotundo, yakni memiliki kandungan mineral yang tinggi.
Budaya dan tradisi selalu hidup di Petirtaan Belahan. Do’a bersama atau biasanya disebut dengan ruwatan desa dilakukan satu tahun sekali. Ruwatan desa dalam gambar di atas dilakukan pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Menurut kades Wonosunyo, H. Sholeh selamatan atau ruwatan ini adalah sebagai simbol dari rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena air dari Petirtaan Belahan ini tidak pernah berhenti meskipun musim kemarau. Ruwatan desa ini tidak hanya dihadiri oleh warga Desa Wonosunyo, tetapi juga dapat dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat.
Pengunjung biasanya datang di waktu-waktu tertentu, seperti hari Kamis Kliwon yang dianggap hari yang sakral. Mereka biasanya melakukan ritual dengan membaca kidung Jawa sesuai dengan keinginannya.
Mereka membasuh rambut, lalu wajah, turun ke tangan, dan kemudian kaki dengan seksama dari pancuran air yang mengalir dari payudara Dewi Laksmi. Mereka mempercayai bahwa air tersebut dapat menyembuhkan penyakit, membuka aura, dan awet muda.
Petirtaan Belahan menjadi saksi bagaimana masyarakat saling bergotong royong dalam menjaga keseimbangan antara warisan masa lalu dan kehidupan masa kini. Di tengah arus modernisasi, Petirtaan Belahan diperlakukan tetap sebagai tempat yang suci, sakral, situs sejarah,dan juga ruang spiritual yang hidup.
Masyarakat sekitar menjaga tradisi dengan penuh kesadaran, seolah mengingatkan bahwa akar budaya adalah bagian dari identitas yang tidak dapat dilepaskan. Melalui Petirtaan
Belahan, peninggalan dari Raja Airlangga di masa lalu terus hidup di kehidupan masyarakat,khususnya Desa Wonosunyo, Kec. Gempol, Kab. Pasuruan yang menghadirkan banyak makna dan nilai-nilai kehidupan.catatan….(Amanda Aisyah)…izz






