Harianmerdekapost.com, Bangkalan, Jatim – Persoalan Bahan Bakar Minyak (BBM), solar bersubsidi mendapatkan keluhan masyarakat. Sering kali masyarakat merasa kesulitan mendapatkan kebutuhan solar, karena stok di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) kerap kali habis. Di tengah permasalahan itu, justru muncul dugaan praktik permainan solar bersubsidi yang terorganisir di Bangkalan.
Dibalik bisnis gelap itu, mengemuka nama PT. Bima Perkasa Energi (BPE), perusahaan besar yang disebut-sebut menguasai jalur distribusi solar subsidi hingga ke berbagai daerah di Jawa Timur.
Harga solar bersubsidi yang resmi tercantum di SPBU Rp 6.800 per liter, ternyata tak berlaku di lapangan. Dari hasil penelusuran dan keterangan beberapa sumber, termasuk dari hasil investigasi Lembaga Informasi Publik Independen (LIPI), rantai permainan harga solar ini begitu sistematis.
Pengepul mengambil dari SPBU seharga Rp 7.000 per liter, lalu menjualnya ke agen dengan harga Rp 7.400–Rp 7.900. Dari tangan agen, solar bersubsidi itu kembali dijual ke perusahaan, termasuk yang diduga dipasok kepada PT BPE dengan harga Rp 8.000 – Rp 8.400.
Namun setelah sampai di perusahaan, solar tersebut disinyalir digunakan sebagai bahan campuran dan diduga dipasarkan sebagai solar industri dengan harga hingga menembus Rp 21 ribu per liter sesuai harga normal industri.
“Harga bervariasi, tergantung kemampuan pengepul mendapatkan jatah solar di SPBU. Agen menampung hasil dari pengepul. Kemudian, perusahaan datang mengambil langsung ke agen dengan memakai truk tangki perusahaan. Semuanya sudah punya pola dan jalur masing-masing,” ungkap Yodika Saputra, Pembina LIPI, kepada wartawan.
Menurut LIPI, modus operandi ini berlangsung secara terstruktur dan tentu melibatkan orang dalam di SPBU. Solar bersubsidi dikeluarkan pada jam-jam tertentu, dengan sistem barcode yang sudah disiapkan jauh hari sebelumnya.
Satu pengepul disebut bisa mendapatkan 1.000 – 2.000 liter per hari. Cara pengambilannya dengan memodifikasi kendaraan ataupun dengan memakai tangki truk agar perolehan solarnya semakin banyak. Sementara pasokan dari truk Pertamina datang 3 – 5 kali dalam seminggu, tergantung kebutuhan SPBU.
“Barcode-nya tidak cuma satu, tapi banyak. Semakin banyak barcode, semakin besar volume solar yang bisa diambil di SPBU,” lanjut Yodika.
LIPI juga menemukan dugaan bahwa agen-agen pengepul solar ini tidak berdiri sendiri.
Mereka diduga dibiayai langsung oleh perusahaan besar, termasuk pembangunan tandon, sarana transportasi, hingga operasional distribusi.
Dengan sistem itu, perusahaan penerima solar subsidi bisa menjalankan bisnis ilegal yang sangat menguntungkan, bahkan mengarah pada monopoli pasar gelap.
“Ada 3 agen besar yang kami deteksi di Bangkalan. Perusahaan penerima solar subsidi ini bukan pemain kecil. Keuntungannya luar biasa besar. Bahkan mereka berani menyingkirkan siapa pun yang mencoba bermain di pola yang sama,” ungkap Yodika.
Dia menyebut, nama PT Bima Perkasa Energi (BPE) disebut sebagai perusahaan yang paling dominan dalam jaringan ini. Wilayah operasionalnya meluas hampir ke seluruh Jawa Timur. Beberapa kasus penangkapan solar subsidi di Jombang dan Kediri, diduga terkait dengan jaringan perusahaan ini. Namun ironisnya, aktivitas mafia solar di Bangkalan dan Madura justru berjalan aman dan terkendali.
“Seorang karyawan PT Bima Perkasa Energi ditangkap Polres Jombang. Namanya Deni Tri Hariyadi bin Muharto dan sudah jadi terdakwa persidangan,” ingatnya.
LIPI menduga, ada dukungan dan perlindungan dari oknum aparat penegak hukum. Dalam struktur jaringan ini, muncul inisial ‘kepala sekolah atau kepsek’. Julukan itu untuk menggambarkan sosok dari unsur aparat penegak hukum yang diduga berperan sebagai pengaman seluruh operasional distribusi solar subsidi di Madura.
Menurutnya, peran ‘kepsek’ ini disebut sangat krusial, memastikan semua kegiatan ilegal berjalan tanpa gangguan. Oknum tersebut yang menjadi backing utama permainan solar subsidi ini.
“Ada istilah ‘kepsek’ yang jadi pengaman. Dia dari unsur oknum APH. Pangkatnya tinggi dan perannya meluas di seluruh Madura,” tutur Yodika menegaskan.
Praktik mafia solar seperti ini bukan sekadar permainan harga, tetapi pengkhianatan terhadap kebijakan subsidi energi pemerintah.
Solar bersubsidi sejatinya diperuntukkan bagi nelayan, petani, dan pelaku UMKM, namun justru dijual kembali ke industri dengan harga berlipat.
Kerugian negara dari kebocoran subsidi energi ini bisa mencapai triliunan.
Saat dikonfirmasi terkait persoalan dugaan keterlibatannya dalam manipulasi solar subsidi, PT BPE belum memberikan tanggapan berarti. Nomor perusahaan yang tertera dalam website perusahaan hanya memberikan tanggapan singkat. Saat ditanya lebih mendalam mengenai keberadaan kantor untuk mengkonfirmasi terkait pemberitaan, tak lagi ada jawaban. (Wawan)






