Harianmerdekapost.com – Sumenep, Madura, Jawa Timur – Kehidupan petani rumput laut di Kabupaten Sumenep kini di ujung tanduk. Komoditas yang selama puluhan tahun menjadi penopang ekonomi pesisir itu kini ditinggalkan, akibat harga yang terus merosot, kualitas bibit menurun, serta kurangnya perhatian pemerintah.
Damawiyah (49), petani asal Dusun Korbi, Desa Pagar Batu, Kecamatan Saronggi, mengaku mengalami kerugian besar. Dari sepuluh keramba yang ia kelola, modal Rp10 juta justru habis tanpa hasil.
“Normalnya bisa untung Rp25 juta sekali panen. Tapi kemarin rugi total, hasilnya hanya sedikit. Rasanya stres,” ujarnya, Kamis (18/9).
Harga jual yang tidak stabil semakin memperburuk keadaan. Kini, rumput laut basah hanya dihargai Rp2.500 per kilogram, semi kering Rp7.000, dan kering Rp10.000. Padahal dulu, harga kering bisa menembus Rp25.000 per kilogram.
Hal serupa dialami Handoko (35), petani asal Pulau Giliraja. Ia mengaku tak pernah berhasil panen dengan baik sepanjang tahun ini. “Cuaca laut tidak mendukung, banyak gagal panen. Banyak petani mulai menyerah,” katanya.
Sebagian bahkan memilih berhenti, seperti Ismail (63), warga Bluto, yang meninggalkan profesi sebagai petani rumput laut sejak 2014 karena iklim dan harga tak menentu.
Kondisi ini diakui Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan Sumenep, Edie Ferrydianto. Ia menyebut faktor utama adalah bibit tua yang digunakan sejak 1980-an tanpa pembaruan, rendahnya minat generasi muda, serta keterbatasan anggaran daerah.
“Tahun ini anggaran nol, tahun depan juga tidak ada. Baru bisa diupayakan dalam perubahan 2026. Tapi kami tetap memperjuangkan agar produksi tidak terus merosot,” jelasnya.
DPRD Sumenep melalui Anggota Komisi II, H. Masdawi, mendesak pemerintah tidak tinggal diam. “Biarpun dana terbatas, pemerintah harus turun langsung. Jika dibiarkan, banyak petani akan berhenti,” tegasnya.
Sementara itu, akademisi UNIBA Madura, Dr. Achmad Zuhri, menilai solusi ada pada inovasi. Menurutnya, perlu peremajaan metode budidaya, penggunaan pengering tenaga surya, hingga hilirisasi produk menjadi olahan bernilai tambah.
“Dengan inovasi, harga bisa terdongkrak, bahkan lahir industri rumput laut baru,” katanya.
Meski terpuruk, para petani masih menyimpan harapan. “Saya hanya ingin harga naik lagi. Kalau gagal panen, saya harus gali utang. Semoga pemerintah benar-benar peduli,” harap Damawiyah.
Data Dinas Perikanan mencatat, jumlah petani rumput laut di Sumenep menurun drastis, dari 4.093 orang pada 2023 menjadi hanya 640 orang tahun 2025. Padahal, dari 23 ribu hektare lahan potensial, baru 5 ribu hektare yang digarap. (*)