Pada suatu Minggu pagi yang damai, di dalam bangunan sederhana namun penuh urapan, jemaat GPdI Bethesda Fakfak berkumpul dalam ibadah minggu. Lagu pujian bergema, membasahi hati yang dahaga akan firman Tuhan. Di tengah suasana yang khidmat itu, Pdt. Clarce Bonsafia melangkah ke mimbar, membuka Alkitabnya dan berkata dengan suara tenang namun penuh kuasa:
“Sebab itu Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.” (Filipi 2:9)
Ia berhenti sejenak, memandang jemaat dengan mata yang berbinar.
“Saudara-saudari,” katanya, “ayat ini bukan hanya tentang kemuliaan Yesus setelah penderitaan-Nya. Ini adalah pengingat bahwa ketika kita merendahkan diri seperti Kristus, saat itulah Tuhan meninggikan kita.”
Seorang ibu jemaat bernama Ibu Maria mendengarkan dengan saksama. Ia datang ke gereja pagi itu dengan hati yang berat. Anak sulungnya sakit keras, dan dokter sudah angkat tangan. Namun pagi itu, saat nama Yesus disebut dan ditinggikan, air matanya jatuh. Ia berbisik dalam hati, “Yesus, Engkaulah nama di atas segala nama. Tak ada yang mustahil bagi-Mu.”
Seusai ibadah, Ibu Maria pulang dan berlutut di samping ranjang anaknya. Dengan iman yang sederhana, ia berdoa, “Dalam nama Yesus, sembuhlah anakku.”
Hari demi hari berlalu. Dan mujizat pun terjadi. Anaknya mulai pulih. Dokter keheranan, tapi Ibu Maria tahu, itu bukan kebetulan—itu karena nama Yesus.
Beberapa minggu kemudian, ia bersaksi di gereja, “Tuhan kita hidup. Nama-Nya penuh kuasa. Nama-Nya—Yesus—telah mengubah dukaku menjadi sorak-sorai!”
Pdt. Clarce hanya tersenyum penuh syukur. Baginya, itulah tujuan dari setiap khotbah—bukan hanya kata-kata, tetapi hidup yang diubahkan.
Editor : ARK