Harianmerdekapost.com-Pasuruan – Sikap ramah terhadap investasi tak bisa menjadi pembenaran bagi industri untuk bertindak sewenang-wenang. Atas dasar itu, sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam aliansi”Jaringan Rakyat Anti Korupsi dan Kolusi (JARAKK)” melaporkan dua pabrik kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Pasuruan.
Aliansi LSM yang terdiri dari Cakra Berdaulat, P-MDM, Gerah, dan PUSAKA melaporkan PT BSA di Susukan Rejo, Pohjentrek, serta CV UMF di Pakijangan, Wonorejo. Keduanya dituding dengan dugaan telah melakukan berbagai pelanggaran serius, termasuk menyerobot lahan pertanian produktif dan menciptakan potensi risiko kesehatan bagi warga.
Secara khusus, kedua perusahaan tersebut diduga telah melanggar ketentuan tata ruang karena mendirikan fasilitas produksi di atas Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Padahal, kawasan ini dilindungi oleh Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pasuruan.
Imam Rusdian, Ketua Cakra Berdaulat, menegaskan bahwa aktivitas industri di LP2B melanggar Pasal 26 dan Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. “Ini bukan sekadar persoalan administratif. Tindakan ini mengancam ketahanan pangan, merusak penataan wilayah, dan bisa berujung pada sanksi hukum,” tegasnya.
Selain itu, aliansi JARAKK juga menyoroti legalitas bangunan kedua perusahaan. PT BSA diduga tak mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) maupun Sertifikat Laik Fungsi (SLF) seperti yang diwajibkan oleh UU Nomor 28 Tahun 2002 jo. PP Nomor 16 Tahun 2021. Padahal, bangunan produksi pangan harus memenuhi standar kelayakan tertentu, terutama dari sisi sanitasi, keselamatan, dan penataan ruang.
Direktur PUSAKA, Lujeng Sudarto, menambahkan bahwa absennya SLF bisa menunjukkan pelanggaran terhadap kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta mencerminkan kelalaian perusahaan terhadap risiko.
“Jika terjadi kebakaran, pencemaran, atau keracunan, ketiadaan dokumen ini akan memperberat tanggung jawab hukum perusahaan,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, Lujeng juga mempertanyakan kelengkapan izin edar produk yang dihasilkan kedua perusahaan. Sebagai produsen mie, UMF seharusnya memiliki izin edar dari BPOM atau minimal SPP-IRT dari Dinas Kesehatan. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, produk olahan yang beredar tanpa izin resmi dinyatakan ilegal dan tidak terjamin keamanannya.
“Izin edar itu jaminan bahwa produk telah melalui uji keamanan dan layak konsumsi. Tanpa itu, kepercayaan konsumen jelas terganggu,” sambungnya.
Situasi semakin mengkhawatirkan karena PT BSA, yang memproduksi es batu konsumsi, termasuk dalam kategori pangan berisiko tinggi. Oleh karena itu, perusahaan wajib memiliki izin edar, hasil uji laboratorium terhadap air baku, dan dokumen pelaksanaan Program Manajemen Risiko (PMR) sesuai PerBPOM Nomor 10 Tahun 2023.
“Tanpa izin dan sistem pengawasan risiko yang memadai, ancaman terhadap kesehatan konsumen sangat besar,” tegas Lujeng.
Menanggapi laporan tersebut, Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan, Nurul Huda, menyatakan,
“Pihaknya akan menindaklanjuti dan akan mengkaji dulu secara serius. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan pengecekan kelengkapan perizinannya dulu apakah sudah sesuai perda atau tidak .
Kalau mengenai masalah pelanggaran yang menabrak UU ataupun Permen, itu bukan kewenangan satpol PP”
“ Sekali lagi kami tetap akan telusuri dokumen perizinannya terlebih dahulu. Jika terbukti tidak lengkap, dan melanggar Perda ataupun yang menjadi kewenangan satpol PP untuk bertindak, tentu akan ada sanksi yang akan kami berikan” tandasnya….izz