Bakso Diskusi

Penulis : Amatus Rahakbauw/K

Arikel1293 Views

Di waktu malam hari cuaca yang dingin memang mantab untuk menyantap yang segar-segar, bakso. Bakso tidak pernah kehabisan untuk menjelajahi bakso dan selalu setia hadir dengan pesonanya yang pedas dan seksi.

Dimalam yang dingin ini aku mengadakan pertemuan dengan teman, aku pilih bakso karena aku hanya bisa realistis bersama.

Bakso yang biasanya aku tempati memang tak pernah sepi pelanggan, mereka datang ketika siang jam istirahat bahkan juga dimalam hari baksopun dapat mengisi perut yang kosong di malam hari. Untuk ukuran baksonya memang ada yang jumbo, terkadang membuat orang tergiur dengan sesuatu yang jumbo.

Aku duduk tepat di depan kipas angin, terasa sejuk. Inilah tempat paling special tanpa harus ada sajian mewah, pelayanan, dan kursi empuk. Cukup disediakan kipas angin, karena golongan darahku O dan aku mudah sekali berkeringat, itu sudah sangat spesial bahkan terpaku.

Aroma kuah bakso begitu kuat ketika ditambah dengan sang pelayan/ penyaji yang aduh hai membuka tutup panci, dan dituangkannya ke dalam mangkuk bakso dan menggelindingkan beberapa butir biji bakso. Air liur aku menetes tak terhingga.

Dia datang, temanku, teman semasa di SMA dulu  yang telah lama tak jumpa kini ada di depan mata. Rambut panjang bola bola masih sama seperti dahulu. Ada rasa senang, kangen, dan kesal menjadi satu.

Kami berbalas senyum.
“Waktu mempertemukan kita kembali”. Ucapku.
“Berterimakasihlah kepadanya”. Balasnya.
“Cicipilah, nanti aku yang bayar”. Tawarku.
“Dengan senang hati, kapan lagi bisa ditraktir teman lama”.

Dan akhirnya, beberapa butir bakso diracik dalama mangkuk, tangannya begitu lihai merciknya, seperti koki. Hingga beberapa langkah tukang bakso hadir menyodorkan dua mangkuk bakso. Panas. Uap menyebul dari mangkuk, aroma kuah dan bola-bola bakso menambah lezatnya pertemuan kali ini. Kami makan bersama. Setelah makan, ini yang aku tunggu. Diskusi.

See also  “Apakah Aku Benar-Benar Berharga di Mata Tuhan? Mengapa?”

“Mana yang kau pilih. Waktu atau Tuhan?”. Tanyanya.
“Tuhan”
“Aku waktu, kenapa?”. Balasnya. “Karena dengan waktu, semua bisa terjawab”
“Tapi Tuhan yang menghendaki”
“Ya, memang. Jika Tuhan belum menghendaki waktunya apa mungkin terjadi, seperti ini kalau bukan waktu siapa lagi yang mempertemukan kita”
“Jadi, kau tidak percaya Tuhan?”Aku tetap
“Percaya, tapi waktu adalah segalanya”
“Mungkinkah kamu mengenakan jam tangan?”
“Ya, mungkin merek Swiss Army”. Kemudian kami tertawa.

Ada lagi, beberapa dijadikan alat diskusi.
“Apa yang menyamakan raja dan pengemis?” Tanyanya. Aku berpikir panjang. Aku tahu dalam kepalanya ada sesuatu yang tak terduga-duga.
“Kau tidak tahu?”
“kah”
“Jika raja dan pengemis menadahkan tangannya, pasti diksih”
“Kukira tidak, pengemis tidak langsung dikasih”
“Ini terlepas dari intensitasnya, memang raja seketika langsung diberi, terbalik dengan pengemis. Tapi lihat lebih dalam. Banyak penguasa dan pejabat yang hidupnya seperti pesakitan. Apapun menyuruh
dan banyak pejabat yang mengemis jabatan dan pangkat. Apakah tidak sama dengan pengemis yang berbaju sobek, rombeng dan bau”. Jawabnya.
“Hebat…”. Batinku. “Mengapa kau tidak menyalonkan diri?”
“Aku tahu disana dipenuhi orang-orang jujur,

AKU merasa waktu seperti terhenti. Banyak bahasan yang membahas lingkungan sekitar. Mulutku tak pernah berhenti haus, sudah beberapa gelas Es Teh yang aku minuman untuk meladeni temanku. Tapi ia lebih sedikit menghabiskan minuman.
“Kau tidak haus?”. Tanyaku.
“Buat apa, sedangkan kita punya liur. Telanlah, mumpung gratis”.
“Menjijikan…”. Dan kami bersalam erat dan hangat.
“Kukiraa kita bisa bertemu kembali”. Pintanya.

Hari telah senja, kami berpisah untuk sesi hari ini. Besok, aku harus menajamkan otakku agar bisa mengimbanginya.

HARI ini adalah hari kemarin yang dijanjikan, di depan kipas aku menanti teman diskusi. Pemilik kedai bakso menyalakan sound system kencang-kencang, lagu yospan dengan dentuman kendangnya membuat jempol ingin bergoyang, lumayan membunuh rasa bosan. Kemudian, ia datang.

See also  Menyusun Ulang Perasaan danPikiran.

“Silakan pesan, aku yang bayar”. Tawarnya.
“Tak perlu… Tak perlu menunggu lama”. Jawabku, ia tersenyum.

Seperti biasa bakso kita santap dahulu, setelah mangkuk kosong kita lanjut diskusi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *