Malam Natal selalu membawa kehangatan—nyala lilin yang temaram, melodi lembut lagu pujian, dan tawa keluarga yang berkumpul. Namun, Natal tahun ini terasa berbeda bagiku. Kehilangan Mama beberapa bulan lalu menciptakan kesunyian yang tak tertahankan.
Di gereja, lilin-lilin menyala menghiasi sudut ruangan, sementara jemaat menyanyikan “The First Noel” dengan penuh khidmat. Lagu itu menyentuh hatiku, seakan membawaku kembali ke masa kecil bersama Mama. Ia selalu mengajarkanku bahwa Natal adalah tentang kasih dan pengorbanan—pesan sederhana, namun begitu dalam.
Namun, malam itu terasa hampa. Sepulang misa, aku kembali ke rumah yang sunyi. Pohon Natal masih berdiri anggun di sudut ruang tamu, dikelilingi ornamen yang dulu Mama pilih dengan cinta. Tapi suasananya tak lagi sama. Kesepian menyergap, membuat kenangan bersamanya mengalir deras.
Saat malam semakin larut, aku mendengar suara burung cenderawasih di kejauhan, seolah melantunkan melodi yang mengiringi kesendirianku. Dalam keheningan itu, aku mulai menyanyikan “The First Noel” dengan suara yang bergetar. Perlahan, lagu itu menghapuskan dinginnya kesedihan di hatiku.
Di tengah kesendirian, aku teringat pelajaran berharga dari Mama: selalu ada alasan untuk bersyukur, bahkan di saat-saat sulit. Natal tahun ini mengajarkanku untuk melihat harapan di balik setiap duka dan mengenang cinta yang telah ia tinggalkan.
Malam Natal yang sunyi tanpa Mama berubah menjadi momen refleksi yang mendalam. Kehadiran burung cenderawasih, melodi “The First Noel,” dan kenangan akan Mama menyadarkanku bahwa kasih tidak pernah benar-benar hilang. Natal bukan hanya tentang kebahagiaan bersama keluarga, tetapi juga tentang menemukan cahaya di tengah kegelapan.
Editor: Amatus Rahakbauw. K
