“Blokir Tanah dalam Perspektif Hukum: Mengurai Kompleksitas Pencatatan”

Arikel, Berita, Hukum467 Views

Harianmerdekapost.com,Pontianak-Kalbar-TANAH merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Kita bisa bercocok tanam, berternak, hingga tinggal di tempat yang namanya tanah. Seiring dengan kepentingan tersebut, konflik atau sengketa atas tanah kadang tak terhindari. Bahkan, bisa berujung pada perbuatan hukum atau terjadi peristiwa hukum.

Perbuatan hukum atau terjadinya peristiwa hukum tidak hanya mengenai objek tanah, tetapi juga menyangkut alas haknya dari objek tanah tersebut, yakni sertifikat. Sertifikat tanah merupakan produk dari penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah.

Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997), serta Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Permen Agraria No. 3 Tahun 1997).

Guna menghindari pengalihan kepemilikan secara sepihak dan bagian dari upaya pencegahan atau memberikan proteksi terhadap suatu tanah yang menjadi objek tuntutan atau sengketa, diperlukan pencatatan blokir tanah pada sertifikat.

Alasan Pencatatan

Pencatatan blokir tanah menurut Permen Agraria No. 3 Tahun 1997 antara lain karena adanya perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan hakim/ketua pengadilan oleh kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah yang bersangkutan dan daftar umum lainnya dilakukan setelah diterimanya penetapan hakim/ketua pengadilan atau putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan berita acara eksekusi dari panitera pengadilan negeri yang bersangkutan.

Bagaimana jika objek tanah baru tahap akan digugat? Menurut Permen Agraria No. 3 Tahun 1997, pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun akan dijadikan objek gugatan di pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan. Artinya, pemohon dengan syarat yang ada juga menyampaikan salinan surat gugatan kepada kepala Kantor ATR/Pertanahan kabupaten/kota.

Selain pencatatan tersebut, Permen Agraria No. 3 Tahun 1997 mengatur pencatatan karena penyitaan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada sertifikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi, berdasarkan Permen Agraria No. 3 Tahun 1997, alasan pencatatan atau pemblokiran itu ada tiga hal. Pertama, karena adanya putusan pengadilan atau penetapan hakim/ketua pengadilan. Kedua, karena adanya salinan surat gugatan. Ketiga, karena adanya salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan penyidik yang berwenang. Dari ketiga hal tersebut, pencatatan blokir bersumber atau berdasarkan permintaan dari pengadilan, pemohon perorangan/badan hukum, dan permintaan penegak hukum.

Adapun untuk persyaratan permohonan pencatatan blokir dalam lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan, terhadap pelayanan pencatatan dan informasi pertanahan untuk pencatatan blokir.

Pertama, formulir permohonan yang sudah diisi dengan disertai alasan pemblokiran dan/atau salinan surat gugatan dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup. Kedua, surat kuasa apabila dikuasakan. Ketiga, fotokopi identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket.

Keempat, fotokopi akta pendirian dan pengesahan badan hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket bagi badan hukum. Kelima, dokumen pendukung pemblokiran (permintaan peradilan dan/atau permintaan aparat penegak hukum, perorangan, atau badan hukum yang menunjukkan bukti kepemilikan berupa sertifikat asli dan/atau bukti kepemilikan lainnya).

Pencatatan Bermasalah

Untuk permintaan atau pemohon perorangan yang ingin mengajukan pencatatan blokir, dipastikan semua persyaratan harus dilengkapi. Misalnya, tidak disertainya kartu keluarga, tidak ada dokumen pendukung pemblokiran yang menunjukkan bukti kepemilikan berupa sertifikat asli dan/atau bukti kepemilikan lainnya, dan petugas lalai untuk mencocokkan KTP, KK, dan kuasa dengan aslinya. Jika yang terjadi seperti ini, syarat permohonan pencatatan blokir tidak lengkap dan belum bisa dilakukan pencatatan.

Sesuai Permen Agraria No. 3 Tahun 1997, pencatatan tanpa melampirkan salinan tersebut atau untuk yang pertama kali dilakukan karena data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke pengadilan, namun dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut dan kepada pihak yang berkeberatan diberitahukan ketua panitia ajudikasi untuk pendaftaran tanah secara sistematik atau kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah secara sporadik agar mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai data yang disengketakan dalam waktu 60 hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 90 hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik dihitung sejak disampaikannya pemberitahuan tersebut.

Bisa juga karena data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan gugatan ke pengadilan tetapi tidak ada perintah dari pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari pengadilan. Lalu, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan.

Dengan demikian, pencatatan tanpa melampirkan salinan dimaksud atau untuk yang pertama kali dilakukan hanya di buku tanah, bukan pada sertifikat, terkait dengan sengketa dan diajukan gugatan ke pengadilan. Catatan terhadap kedua hal tersebut yang jelas mengenai adanya sengketa dan yang disengketakan serta disampaikan pemberitahuan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan oleh ketua panitia ajudikasi untuk pendaftaran tanah secara sistematik, atau kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah secara sporadik.

Lain halnya jika ada pemohon perorangan yang mengajukan pencatatan blokir tetapi persyaratan yang diajukan belum lengkap seperti tidak mampu menunjukkan bukti kepemilikan berupa sertifikat asli dan/atau bukti kepemilikan lainnya, namun pejabat yang berwenang tetap melakukan pencatatan tersebut dengan dasar salinan sertifikat. Lantas, karena faktor tertentu di pihak pemohon yang sama belum genap waktu 30 hari terhitung dari tanggal pencatatan mengajukan permohonan untuk menghapus blokir.

Berkenaan dengan peristiwa seperti ini, jelas pencatatan blokir yang dilakukan pejabat tersebut bermasalah. Sesuai Permen Agraria No. 3 Tahun 1997, hapusnya catatan blokir itu karena adanya keputusan mengenai hapusnya hak bersangkutan dari menteri atau pejabat yang ditunjuk atau hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir, atau catatan mengenai penyitaan dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat atau penyidikan perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang berlaku, atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang bersangkutan.[Kzn,Abe*]

 

 

Sumber

http://www.lampost.co/berita-masalah-pencatatan-blokir-tanah.html