Anggi Gida, sebuah distrik kecil di Pegunungan Arfak, diselimuti kabut tebal pagi itu. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, tetapi tak mampu memadamkan semangat masyarakat yang berbondong-bondong menuju lapangan terbuka. Di tengah kerumunan, seorang perempuan tua bernama Mama Yosina melangkah perlahan dengan tongkat kayu di tangannya. Meski tubuhnya ringkih dan usia telah menggerogoti kekuatannya, tekadnya tetap kokoh.
Hari ini istimewa. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Papua Barat, Drs. Dominggus Mandacan dan Mohamad Lakotani—yang dikenal dengan sebutan DOAMU—akan datang ke desanya. “Mereka pemimpin yang baik,” bisiknya, seperti doa yang ia titipkan pada angin dingin Pegaf.
Di lapangan, Mama Yosina duduk di tikar bersama para mama-mama lain. Wajah-wajah mereka penuh harap, seperti tanah kering yang menanti siraman hujan. Tak lama kemudian, rombongan DOAMU tiba. Dominggus Mandacan turun dari mobil dengan senyum lebar, membawa kehangatan yang meluruhkan rasa dingin. Mohamad Lakotani menyapa masyarakat, melambaikan tangan dengan penuh rasa hormat.
Saat Dominggus mulai berbicara, suasana menjadi hening. Dengan nada suara yang tegas tetapi penuh kelembutan, ia memaparkan janji untuk membangun jalan, memperbaiki fasilitas kesehatan, dan meningkatkan pendidikan. Namun, bukan itu yang membuat mata Mama Yosina mulai berkaca-kaca.
“Mama Yosina,” panggil Dominggus, menatap langsung ke arahnya. “Saya tahu sulitnya membawa hasil kebun ke pasar karena jalan yang rusak. Saya janji, kita akan bangun jalan yang layak agar mama-mama bisa lebih mudah menjual hasil kerja kerasnya.”
Seketika, air mata jatuh di pipi Mama Yosina. Baginya, itu bukan sekadar janji, tetapi jawaban atas doa-doanya selama bertahun-tahun. Ia teringat bagaimana ia harus berjalan berjam-jam menuruni lembah hanya untuk menjual beberapa ikat ubi yang kadang dihargai terlalu murah.
Setelah pidato Dominggus, Mohamad Lakotani berdialog dengan para pemuda. Ia menatap mereka seperti menatap masa depan Papua Barat. “Kalian adalah cahaya bagi tanah ini. Kami akan memastikan kalian mendapat pendidikan yang layak dan kesempatan untuk membangun negeri sendiri,” katanya dengan penuh keyakinan.
Di penghujung acara, para tokoh adat menyerahkan panah adat kepada DOAMU. Di Pegaf, panah adat adalah simbol kepercayaan tertinggi, tanda bahwa masyarakat menaruh harapan besar kepada pemimpin yang diberkati Tuhan. Dominggus menerima panah itu dengan kedua tangan, hatinya bergetar oleh kehangatan yang terpancar dari masyarakat sederhana ini.
Ketika rombongan DOAMU bersiap untuk pergi, Mama Yosina melangkah mendekati Dominggus. Meski langkahnya lamban, tekadnya terlihat jelas. Dengan suara yang pelan namun penuh makna, ia berkata, “Tuan Gubernur, kami percaya pada bapak. Jangan lupakan kami di gunung ini.”
Dominggus menggenggam tangan Mama Yosina, matanya menatap perempuan tua itu dengan penuh rasa hormat. “Saya tidak akan lupa, Mama. Kami akan kembali dengan membawa perubahan.”
Hari itu, kabut tebal yang biasanya menyelimuti Anggi Gida terasa lebih hangat. Di mata Mama Yosina dan masyarakat lainnya, pasangan DOAMU bukan hanya calon pemimpin. Mereka adalah harapan. Harapan yang berbisik lembut di hati setiap warga Pegaf bahwa masa depan yang lebih baik bukan sekadar mimpi, melainkan janji yang akan ditepati.(ARK).
Editor : Amatus.Rahakbauw. K