Oleh AHMAD FARISI
”Ada yang tidak beres dengan bangsa ini.” Ungkapan itulah yang mungkin tepat untuk menggambarkan situasi kebangsaan kita akhir-akhir ini yang benar-benar mengiris nurani.
Kepala desa korupsi. Kepala daerah korupsi. Pegawai pajak korupsi. Pengusaha korupsi. Menteri korupsi. Dewan korupsi. Auditor korupsi. Hakim korupsi. Polisi korupsi. Rektor korupsi. Dan bahkan, pemberantas korupsi, juga ikut-ikutan melakukan korupsi.
Berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh sejumlah petinggi negara di institusinya masing-masing itu benar-benar membuat kita tidak habis pikir. Era reformasi, yang awalnya kita sambut dengan penuh antusiasme sebagai “era baru” ternyata tak sesuai harapan. Korupsi tetap merajalela. Terjadi di mana-mana. Dihampir semua sektor kekuasaan negara.
Pertanyaannya, mengapa kasus korupsi masih merajalela di setiap sektor kekuasaan? Bukankah selama ini upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan semaksimal mungkin?
Sejak bergulirnya Reformasi 98, berbagai upaya untuk memberantas korupsi memang telah dilakukan. Bahkan, kita tahu, untuk lebih menunjang pemberantasan korupsi yang saat itu dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung, lembaga negara penunjang (state auxiliary organ) yang tak lain adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dibentuk.
Namun, akhirnya, seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini, pemberantasan korupsi tetap tak menemukan titik terang. Tanda-tanda bahwa korupsi akan berakhir tidak terlihat. Tanda-tanda yang ada justru memperlihatkan bahwa korupsi semakin menghabitus.
Jika kita cermati, di balik gagalnya rezim anti-korupsi pasca-reformasi dalam memberantas korupsi hal itu tak bisa lepas dari pendekatan yang digunakannya. Di mana, pendekatan pemberantasan korupsi yang selama ini digunakan masih berbasis pada pendekatan lama yang berorientasi pada pembongkaran kasus dan penangkapan pelaku saja.
Padahal, untuk memberantas korupsi secara komprehensif dan berkelanjutan metode semacam itu tak sepenuhnya dapat diandalkan. Sebab, pendekatan semacam itu hanya menyelesaikan persoalan korupsi di ujungnya saja, tidak sampai pada akar masalahnya.
Buktinya, meski telah banyak para pelaku korupsi yang selama ini ditangkap dan dipidana, hal itu tak mampu membuat aktor-aktor kekuasaan yang lain untuk menahan diri dari godaan korupsi. Ditangkap satu pelaku, muncullah pelaku-pelaku korupsi lainnya.
Bahkan, dalam beberapa kasus, beberapa aktor-aktor kekuasaan yang pernah dipidana karena kasus korupsi kembali mengulangi perbuatannya setelah selesai menjalani hukuman. Hal-hal kasuistik semacam ini dengan jelas memperlihatkan kepada kita bahwa pendekatan pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh penegak hukum adalah tidak efektif.
Sebagai bagian dari penegakan hukum, pendekatan pemberantasan korupsi yang berfokus pada pembongkaran kasus dan penangkapan pelaku memang tidak bisa ditinggalkan atau digantikan. Secara inheran, semua itu memang harus dilakukan secara terus menerus oleh para penegak hukum sebagai bagian dari kewajiban konstitusional yang melekat padanya.
Namun demikian, ke depan, pendekatan pemberantasan korupsi yang hanya berfokus pada pembongkaran kasus dan penangkapan pelaku tersebut perlu diberangi dengan pendekatan lain untuk memberantas korupsi secara secara berkelanjutan. Dalam hal ini, penulis mengusulkan culture reform sebagai salah satu basis memberantas korupsi di Indonesia.
Pemberantasa korupsi yang berbasis pada culture reform (reformasi kebudayaan) tentulah berbeda dengan pendekatan penegakan hukum yang lebih berfokus pada pembongkaran kasus dan penangkapan pelaku. Pendekatan culture reform lebih menekankan pada penataan perilaku dan orientasi pemikiran masyarakat dalam kehidupan publik.
Namun, meski berbeda, pendekatan culture reform dalam hal ini tidak dalam posisi ingin menggantikan atau menegasikan penegakan hukum sebagai basis utama memberantas korupsi. Pendekatan culture reform di sini hanya bersifat sebagai auxiliary methods (metode penunjang) dalam upaya memberantas korupsi secara lebih komprehensif dan efektif.
Mengapa culture reform?
Sebagaimana mafhum diketahui, berbagai praktik korupsi yang selama ini dilakukan pejabat negara semata-mata terjadi bukan karena tidak adanya pengawasan atau karena para pemangku kekuasaan itu sendiri tidak memliki pengetahuan hukum. Melainkan karena faktor kebudayaan yang sejak awal memang korup dan mendorong pemangku kekuasaan korup.
Buktinya, sejauh ini pengawasan dan penegakan hukum telah dilakukan. Dan lagi, kita juga tahu bahwa yang selama ini menjadi pelaku korupsi bukanlah masyarakat yang tidak terdidik. Melainkan dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi dan bertitel sarjana, megister, doktor, dan bahkan ada pula yang berstatus sebagai profesor (KPK, 2022).
Data dan fakta di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa ada faktor kebudayaan yang korup dalam kehidupan berbangsa dan berneragara kita. Yang jika tidak dilakukan culture reform secara berkelanjutan, akan terus mendorong siapa pun yang ada di dalam lingkaran kekuasaan, berwatak korup, culas dan bertindak manipulatif seperti yang terjadi sekarang.
Perlu diingat, bahwa culture reform ini juga merupakan bagian dari agenda reformasi. Ada tiga agenda utama dalam Reformasi 98: pertama, institusional reform (reformasi kelembagaan); kedua, instrumental reform (reformasi hukum); dan ketiga, culture reform (reformasi kebudayaan). Dua agenda yang pertama bisa dikatakan sudah terlaksana.
Namun, untuk agenda yang terakhir, terlupakan dan luput dari perbincangan dan perhatian publik. Sehingga tak heran bila budaya korup pada masa pemerintahan orde baru masih belum hilang dari kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Kita cenderung seperti mewarisi budaya korup yang diciptakan pemerintah orde baru selama tiga dekade lebih.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pendekatan culture reform juga diadopsi dalam upaya memberantas korupsi secara komprehensif. Tanpa culture reform, pemberantasan korupsi ke depan hanya akan berputar-putar pada penangkapan secara berulang tanpa ujung dan akhir.