Surabaya,harianmerdekapost.com-Jika *hidup berkonstitusi adalah wujud dari bangsa yang merdeka*, maka mengabaikannya kemudian adalah cara terbaik untuk menjerumuskn bangsa itu sendiri ke dalam penjajahan. Itulah gambaran singkat wajah bangsa Indonesia saat ini: hidup tanpa konstitusi yg membentuk jati dirinya yang telah dirumuskan dengan sangat bijak oleh para pendiri bangsa ini. Adalah Parlemen sebagai _law making institution_ yang bertugas mengawal konstitusi. Namun ternyata sebagian besar anggota parlemen produk reformasi terbukti buta konstitusi sehingga gagal menjaganya apalagi mengawal pelaksanaannya oleh penguasa.
Pada saat UUD1945 diamandemen secara serampangan dan ugal-ugalan menjadi UUD2002, bahkan dengan mengundang konsultan asing (lihat D.L. Horowitz _Constitutional Change and Democracy in Indonesia_ 2013), maka jalan ke penjajahan baru itu terbuka lebar yang merampas kemerdekaan, menghancurkan persatuan, melemahkan kedaulatan dan menghilangkan keadilan serta melenyapkan kemakmuran. Semua regulasi yang dibangun di atas konstitusi palsu itu boleh dikatakan _illegitimate_, dan sikap *anarki dan pembangkangan masyarakat akan tumbuh berkembang* sebagai pilihan _survival_ yang paling masuk akal seiring dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menyeleweng dari cita-cita kemerdekaan.
Upaya membegal UUD1945 telah berkali-kali dilakukan dengan memberi tafsir _illegitimate_ menjadi nasakom atau liberal kapitalistik sesuai kepentingan partai politik penguasa. Sejak reformasi, tafsir itu bahkan diresmikan dengan mengganti teks batang tubuh UUD1945 secara mendasar menjadi UUD2002. Selama paling tidak 6 bulan terakhir ini bahkan ada upaya makar konstitusi melalui RUU terkait Pancasila yang secara sengaja menyelewengkan Pancasila hasil kesepakatan para negarawan pendiri bangsa. RUU HIP dan RUU BPIP adalah upaya sekelompok anasir partai politik untuk menafsirkan secara sesat Pancasila sesuai kepentingan penguasa saat ini.
Kelahiran RUU HIP dan RUU BPIP adalah bukti paling mutakhir dan paling jelas bahwa sebagian besar anggota parlemen Republik saat ini jika tidak buta konstitusi maka secara sengaja mengabaikannya. Kondisi ini diperburuk oleh proses legislasi yang tidak memiliki penjaminan mutu ( _quality assurance_) sehingga banyak UU tidak bermutu yang kemudian harus mengalami _judicial review_ melalui Mahkamah Konstitusi atau mengalami penolakan publik yang luas. Sesungguhnya MK tidak diperlukan jika proses legislasi dilakukan oleh anggota parlemen yang menghayati konstitusi sebagai pernyataan cita-cita dan amanah proklamasi para negarawan pendiri Republik ini.
Jika penyakit buta dan abai konstitusi yang menghinggapi banyak anggota parlemen ini tidak segera disembuhkan, maka hari-hari bangsa ini akan segera dihitung mundur hingga saat kehancurannya.
*Rosyid College of Arts*,
Gunung Anyar, Surabaya
28/8/2020