Gresik,harianmerdekapost.com – Ibarat membangkitkan batang terendam. Begitulah yang dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dengan mengusung kebijakan Merdeka Belajar. Mengapa?
Sebab sekitar satu abad yang lalu, Ki Hajar Dewantara pernah menawarkan konsep Merdeka Belajar sebagai bentuk perlawanann terhadap pendidikan kolonial Belanda yang dinilai feodalistik, indoktrinasi dan berorientasi ideologi pasar ( pro -pasar).
Merdeka Belajar yang digagas oleh tokoh yang memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat itu tujuannya untuk melaahirkan manusia merdeka yaitu, manusia yang memiliki kebebasan, kemandirian dan kemartabatan.
Sebagaimana diberitakan, jargon Merdeka Belajar dilontarkan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyusul setelah pidato sambutannya pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 lalu. “Satu hal yang pasti saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia” (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/11/pidato-mendikbud).
Konsep Merdeka Belajar menurut penjelasan dari Kemendikbud, filosofi dan inspirasinya merujuk pada konsep merdeka balajar yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara.
Dengan merujuk pada filosofi dan inspirasi Ki Hajar Dewantara maka konsep merdeka belajar yang diusung Mas Menteri, demikian Mendikbud Nadhiem disapa, tidak sekedar memiliki legitimasi kesejarahan. Namun pada sisi balik sesungguhnya mantan Bos Gojek itu sedang menabuh genderang perlawanan terhadap sistim pendidikan feodalistik, indoktrinasi dan menganut ideologi pasar.
Barangkali terlalu berlebihan menyebut perlawanan, lebih tepatnya berusaha mengembalikan pendidikan agar ‘di jalan yang benar’, yaitu melahirkan manusia merdeka.
Adakah pendidikan saat ini berada dijalan yang salah? Mungkin bukan berada dijalan yg salah, tapi pendidikan yang dijalankan sampai sekarang tampaknya masih belum bisa melepaskan diri dari belenggu sejarah pendidikan masa lalu.
Perlawanan Ki Hajar Dewantara
Tampilnya Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa pada tahun 1922 sebenarnya bentuk perlawanan atau lawan tanding terhadap atas sistim pendidikan kolonial Belanda.
Lalu apa yang dilawan? Pertama adalah feodalistik. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, sekolah yang didirikan pemerintah Belanda seperti HIS dan MULO sangatlah feodalistik. Sebab hanya kaum bangsawan dan orang-orang Belanda yang memiliki akses menikmati sekolah. Sementara rakyat biasa tidak memiliki kesempatan.
Kedua, pendidikan Belanda menganut ideologi pasar. Sekolah yang didirikan Belanda dibuat demi kepentingan Belanda sendiri. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja siap pakai untuk pegawai-pegawai rendahan.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan wahana pembangunan bangsa yang maju, bermartabat, sejahtera, dan merdeka lahir-batin. Pendidikan harus menumbuhkan jiwa merdeka.
Ketiga, menolak indoktrinasi dalam pendidikan.Lahirnya semboyan Tut Wuri Handayani yang artinya mengikuti dari belakang merupakan bentuk perlawanannya. Tut Wuri Handayani memiliki makna seorang guru diharapkan mampu memberikan suatu dorongan moral dan semangat pada peserta didik saat guru tersebut berada di belakang.
TakTak hanya mendirikan sekolah Taman Siswa, perjuangan Ki Hajar Dewantara untuk melepas sistim pendidikan kolonial terus dilakukan saat Indonesia merdeka. Ketika diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia ke-1, Ki Hajar Dewantara dengan lantang meneriakkan agar seluruh sekolah di Indonesia meninggalkan sistim pendidikan Belanda. Sayang upaya itu belum membuahkan hasil. Hal itu mudah difahami, sebab Ki Hajar Dewantara menjabat Menteri Pengajaran hanya selama tiga bulan saja. Usia kabinet formalitas itu hanya sekitar tiga bulan, 2 September 1945 – 14 November 1945.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara memutus belenggu masa lalu mulai terputus. Todung Sutan Gunung Mulia, Menteri Pendidikan ke-2 tidak melanjutkan perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Sebab selama menjabat sekitar satu tahun (tahun 1945 -1946 ) dalam Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II diberi tugas membenahi sarana sekolah yang saat itu memang sangat memprihatinkan. Dan selanjutnya, jargon Merdeka Belajar tak pernah kedengaran lagi.
Tantangan Mas Menteri
Pendidikan untuk siapa? Pendidikan untuk apa? Apa tujuan pendidikan itu sesungguhnya? Daftar pertanyaan yang masih mengemuka hingga sekarang ini menandakan bahwa membangkitkan kembali jargon Merdeka Belajar menemukan titik relevansi.
Memang feodalistik pendidikan mungkin mulai berakhir dengan diterapkannya PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) yang menerapkan sistim zonasi. Zonasi telah membuka kesempatan berbagai lapisan sosial masyarakat untuk masuk di sekolah negeri dan favorit. Meski dampaknya banyak sekolah swasta menengah ke bawah yang terancam gulung tikar karena kekurangan murid.
Lalu indoktrinasi pendidikan? Tampaknya hanya terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa Orde Lama indoktrinasi pendidikan dipengaruhi dinamika politik. Sedang pada masa orde Baru indoktrinasi dimaksudkan untuk menghapus jejak Orde Lama dan Soekarno.Melalui kurikulum 1975, Orde Baru melakukan indoktrinasi ideologi Pancasila dengan memperkenalkan butir-butir Pancasila pada semua jenjang pendidikan.
Tak hanya indoktrinasi, pada masa Orde Baru mulai menerapkan sistim pendidikan sentralistik. Rezim EBTA dan Ebtanas juga dimulai saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Daoed Joesoef (1978-1983).
Pada masa Orde Baru pendidikan juga menganut ideologi pasar. Pendidikan diarahkan memperkuat struktur kekuasaan. Misalnya, ntuk memperkuat ambisi swasembada pangan maka dibukalah Sekolah Menengah Pertanian Atas (setingkat SMA).
Pada tataran inilah Merdeka Belajar yang diusung Mas Menteri dihadapkan dua persoalan mendasar, yaitu sistim pendidikan sentralistik dan ideologi pasar.
Otonomi Pendidikan, Sebuah Tawaran Program.
PengelolaanPengelolaan pendidikan nasional yang sentralistik menjadi masalah yang cukup akut karena sudah berlangsung lebih dari lima dasa Warsa. Padahal sistim itu dinilai mengakibatkan sekolah, guru dan siswa menjadi terpasung. Institusi pendidikan kehilangan ruang untuk berinovasi. Itu pula yang mengakibatkan ketika masa pandemi covid 19 mengharuskan kegiatan belajar dari rumah sekolah dan guru menjadi gagap. Tak tahu apa yang harus dilakukan, terus menunggu petuah dan fatwa dari sentral pengelola pendidikan, yaitu Kemendikbud.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk melepaskan dari sistim itu? Tampaknya tawaran kebijakan demokratisasi dalam bentuk memberi otonomi pada satuan pendidikan sebuah keniscayaan. Melalui otonomi satuan pendidikan inovasi yang bersumber dari budaya lokal akan tumbuh subur dan berkembang. Berbagai ragam budaya akan tumbuh bergelora
Mungkin ada yang meragukan kesiapan institusi pendidikan mampu menjalankan otonomi. Pertanyaannya, mengapa dalam bidang politik berani mentransfer demokrasi tanpa melalui tahapan-tahapan. Mengapa pula dalam hal tehnologi juga langsung mentransfer tanpa melalui proses kajian dan penelitian. Bukankah kehebatan mantan Bos Gojek itu karena keberaniannya melakukan transformasi tehnologi pada angkutan konvensional ?
Bukankah otonomi daerah telah diberikan? Mengapa tidak menyertakan otonomi dalam bidang pengelolaan pendidikan. Bukankah dengan lembaga pendidikan yang otonom ternyata mampu melahirkan generasi yang siap menghadapi tantangan jaman. Bukankah lembaga pendidikan swasta seperti pondok sebelum sentralistik pendidikan mampu berperan mengantar alumninya mengisi berbagai lapangan pekerjaan?
Harus diakui bahwa jargon Merdeka Belajar bukanlah ramuan jampi-jampi atau rumusan mantra yang diharapkan mampu mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Tapi sebuah jargon yang memiliki akar kesejarahan yang panjang. Jargon yang lahir dari proses perenungan pemikiran dan keprihatinan terhadap masa depan bangsa Indonesia. Dan, pada titik inilah dibutuhkan keberania untuk mewujudkan. (*)
*Penulis adalah Guru SMA Darul Islam
Gresik- Jawa Timur
Editor: Sudono Syueb