Khilafah dan Nasionalisme, Haruskah Selalu Bertentangan? Oleh: Ahmad Khoirul Fata Dosen Fak Ushuluddin & Dakwah IAIN Sultan Amai Gorontalo. Editor: Sudono Syueb

Gorontalo,harianmerdekapost.com-Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan khilafah kembali mendapat sorotan setelah pemutaran film “Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN)” dan persekusi anggota Banser terhadap tokoh yang dianggap mendakwahkan gagasan khilafah. HTI tampak kukuh dengan gagasan khilafahnya dan mengabaikan realitas sejarah yang ada. Sementara para penentangnya pun menutup mata atas keragaman tafsir soal konsep khilafah. Seolah menggunakan kacamata kuda kedua pihak pun berdiri di sisi berseberangan dan saling menegasikan.

Sesungguhnya gagasan kesatuan politik bagi seluruh umat Islam bukan hanya dikonsepkan oleh HTI. Banyak pemikir dan sarjana muslim yang menggariskannya. Ismail Raji al-Faruqi menilai kesatuan politik itu sebagai konsekuensi logis dari konsep tauhid. Karena, menurut pemikir asal Palestina itu, kesatuan Tuhan (tauhid) memberikan implikasi pada kesatuan umat ( _tauhid al- ummat_ ), dan _tauhid al-ummat_ itu menuntut terwujudnya kesatuan secara politik.

Meski secara konseptual ada, namun secara kesejarahan ide ini sulit diwujudkan. Mungkin hanya di era Nabi Saw dan empat khalifah utama saja konsep ideal itu terwujud, atau paling lama hingga keruntuhan dinasti Bani Umayyah.

*Pan-Islamisme dan Nasionalisme*

Ketika kekuasaan Utsmani mulai goyah, muncul gagasan semacam khilafah yang disebut sebagai Pan-Islamisme. Ide ini semula disuarakan tokoh pembaharu Jamaluddin al-Afghani dan kemudian dikampanyekan Sultan Abdul Hamid (1876-1908) untuk mengonsolidasikan kekuatan umat Islam demi melawan negara-negara Barat yang mulai menggerogoti wilayah Utsmani. Pasca penghapusan kekhilafahan Turki Utsmani, gagasan Pan-Islamisme disuarakan kembali untuk melawan kolonialisme Barat atas negeri-negeri Islam, dan untuk membentuk kembali kesatuan politik umat Islam se dunia.

H Aqib Suminto (1985) mencatat, pada 1924 datang utusan Panitia Khilafah dari India (saat itu dijajah Inggris) Husein Mardini Damasyki ke Hindia Belanda untuk mengampanyekan Pan-Islam dan mendirikan _Jam’iyyatul Ittihadil Islamy_. Ini sebagai tindak lanjut dari keputusan Konferensi Islam di Bombay pada Maret 1923, yang dihadiri ulama dari Hindia Belanda. Upaya lain dilakukan Syarif Husein. Pada tahun 1924 dia membentuk Dewan Khalifah yang terdiri dari 9 orang sayid dan 19 orang dari perwakilan daerah/negara lain. Namun dewan ini tidak berumur panjang karena sang Amir Makkah itu lengser. Kongres dunia Islam juga direncanakan digelar di Kairo tahun 1925, namun karena gejolak politik di wilayah Arab, kongres itu baru terlaksana pada Mei 1926.

Untuk menyambut kongres Kairo itu, tokoh-tokoh Islam di Hindia Belanda menggelar Kongres Al-Islam III pada Agustus 1924 di Surabaya untuk memilih utusan yang akan berangkat. Maka terpilihlah tiga tokoh yang dianggap mewakili kelompok-kelompok Islam Hindia Belanda, yaitu H Fachruddin (Muhammadiyah dan Sarekat Islam), Suryopranoto (Sarekat Islam dan Serikat Pekerja), dan H Abdul Wahab (Perkumpulan Agama di Surabaya, salah satu organisasi kalangan tradisional sebelum NU).

Tidak lama setelah itu, pada 1 Juni 1926 juga digelar Kongres Khilafah di Makkah. Hindia Belanda diwakili HOS Tjokroaminoto dan KH Mas Mansur. Kongres prakarsa Ibnu Saud ini kemudian dilaksanakan untuk kedua kalinya pada tahun 1927 di kota yang sama. Di kongres kedua ini H Agus Salim hadir mewakili Hindia Belanda. Wakil-wakil Hindia Belanda itu dipilih dalam Kongres Al-Islam IV tahun 1925 di Yogyakarta dan Kongres V tahun 1926 di Bandung. Pada tahun 1931 juga digelar kegiatan serupa di Palestina.

Meski berkali-kali digelar Kongres Khilafah, namun cita-cita penyatuan politik umat Islam itu pun mentok. Pada kongres Mei 1926 di Kairo, meski peserta mengakui urgensi khilafah bagi dunia Islam, namun mereka menyadari kondisi dunia Islam saat itu tidak memungkinkan mewujudkannya. Di antara sebabnya adalah kolonialisme yang masih melanda sebagian besar dunia Islam dan ambisi beberapa pemimpin Arab untuk menjadi khalifah bagi dunia Islam.

Alih-alih menyatukan, di Hindia Belanda sendiri cita-cita Pan Islam itu membuat ketegangan di antara kelompok-kelompok Islam. Deliar Noer (1991) dan H Aqib Suminto mencatat, kehadiran Tjokroaminoto dalam Kongres Khilafah I di Makkah menimbulkan perselisihan antara Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah pun menerapkan disiplin organisasi yang melarang keanggotaan ganda warganya. Reaksi serupa juga dilakukan oleh sejumlah ulama “tradisionalis”. Karena menilai utusan Kongres Khilafah di Makkah itu tidak menyertakan pihaknya, mereka pun membentuk Komite Merembuk Hijaz dan di kemudian hari komite ini bermetamorfosis menjadi Nahdlatul Ulama. Mungkin sejarah ini yang kemudian membuat trauma kaum Nahdliyin atas gagasan khilafah.

Ketidakberhasilan berbagai kongres itu membuat para pemimpin muslim Hindia Belanda bersikap realistis. Mereka pun mentransformasikan cita-cita itu menjadi energi untuk perjuangan di negaranya sendiri. Ideologi Pan Islamisme pun dijadikan semangat pembakar perlawanan terhadap kolonialisme Barat atas dunia Islam, termasuk di Hindia Belanda, karena memang sejak awal mula Pan Islamisme sudah membawa ideologi perlawanan terhadap penjajahan Barat.

Tak pelak persebaran ide ini sejak awal selalu dipantau oleh pemerintah kolonial. Mereka takut jika ide ini tersebar luas dapat menggelorakan semangat perlawanan rakyat. Karena itulah, negara-negara kolonial itu saling bahu membahu mencegah persebaran ide itu. Di Hindia Belanda sendiri, penguasa kolonial membangun kerjasama dengan Inggris untuk mencegah masuknya selebaran-selebaran Pan Islam dari British India, Singapura, dan wilayah Arab.

Menariknya, jika di dunia Arab ide Pan Islam dipertentangan dengan semangat nasionalisme Arab (Pan Arab) yang menggerogoti kekhilafahan Turki Utsmani, kenyataan sebaliknya terjadi di Hindia Belanda (dan juga British India). Di dua kawasan ini Pan Islamisme malah menjadi ideologi perlawanan terhadap kekuatan kolonial Barat dan merupakan unsur penting dalam pembembentukan identitas kebangsaan.

Dengan ideologi inilah rakyat menegaskan dirinya sebagai “muslim” yang berbeda dengan orang-orang Barat yang “kafir”. Identitas “Islam” ini merupakan bentuk awal dari identitas kebangsaan dan menjadi penyemangat bagi perlawanan terhadap penjajah Barat.

Dengan demikian, sesungguhnya gagasan kesatuan politik umat Islam (khilafah/pan Islam) itu tidak selalu menjadi musuh bagi nasionalisme, bisa jadi justru malah menjadi spirit bagi nasionalisme.

Editor: Sudono Syueb