*IMAJINASI NEGARA KHILAFAH* Oleh Prof Dr BIYANTO M.Ag Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Editor: Sudono Syueb

Surabaya,harianmerdekapost.com-Topik pembicaraan mengenai khilafah kembali mengemuka dalam berbagai media. Salah satu musababnya dipicu tayangan film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN). Film yang ditayangkan secara virtual pada 20 Agustus 2020 bertepatan dengan perayaan tahun baru Islam 1 Muharram 1442 Hijriah itu menuai kontroversi hingga kini. Sejarawan ternama asal Inggris Peter Carey membantah adanya hubungan kekhalifahan Turki Utsmani dengan sejumlah kesultanan di nusantara. Peter yang sekaligus ahli Jawa (Jawanis) itu menegaskan bahwa kesultanan-kesultanan di Jawa juga bukan bagian dari kekuasaan Turki Utsmani.

Pernyataan senada juga dikemukakan Azyumardi Azra. Ahli sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengemukakan bahwa narasi yang ada dalam film JKDN merupakan usaha pembuatan sejarah yang dipaksakan. Hal itu karena memang tidak ada fakta sejarah yang menunjukkan adanya hubungan kerajaan Demak, Mataram, dan Aceh dengan kekhalifahan Turki Utsmani dan Abbasiyah. Bantahan Peter dan Azra penting sebab sejarah seharusnya dipahami sebagai konstruksi masa lalu kehidupan sosial manusia yang ditulis sejarawan berdasarkan fakta.

Kehadiran film JKDN dapat dipahami cara kelompok-kelompok keagamaan bercorak transnasional untuk terus menghidupkan gagasan pendirian negara ideologis berbentuk khilafah.

Meski secara organisatoris gerakan keagamaan yang ingin memperjuangkan khilafah itu telah dibubarkan oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang berlaku, namun tokoh-tokohnya terus bergerak untuk menyemai ideologi transnasional. Apalagi secara internasional gerakan ini masih menunjukkan eksistensinya di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim maupun minoritas muslim.

Meski gerakan bercorak lintas batas tersebut sangat bervariasi dan mewujud dalam banyak organisasi (polycentrism), namun umumnya memiliki pandangan politik yang sama. Doktrin politik yang dianut adalah bahwa Islam mengajarkan kesatuan agama dan negara _(al-Islam din wa daulah)._ Doktrin ini menekankan Islam sebagai totalitas sistem yang secara universal bersifat kompatibel sehingga dapat dipraktikkan di segala waktu dan tempat _(shalihun likulli zaman wa makan)._

Bagi penganut doktrin Islam fundamental, pemisahan agama dan negara adalah sesuatu yang tidak terbayangkan _(inconceivable)._ Kelompok Islam fundamental selalu berpandangan bahwa praktik politik yang harus dijadikan rujukan adalah Islam periode Nabi Muhammad dan sahabat. Sistem politik yang ada saat ini dinilai tidak sesuai dengan praktik politik generasi awal Islam. Hal itu karena sistem politik saat ini bersandar pada budaya Barat yang sekularistik sehingga harus ditolak.

Bagi kelompok Islam fundamental, sistem khilafah dianggap satu-satunya solusi untuk menegakkan cita-cita politik umat. Dengan mencitakan dunia Islam dipimpin seorang khalifah berarti tidak ada tempat bagi gagasan nasionalisme. Sebab, nasionalisme lebih menekankan pada kesamaan tujuan dalam kehidupan bernegara. Sementara gerakan Islam politik membangun cita-citanya berdasarkan kesamaan agama sehingga mengabaikan batas negara-bangsa _(nation-state)._

Berkaitan dengan maraknya gerakan Islam politik itulah, maka umat harus mamahami ajaran yang lebih substantif. Cita-cita politik Islam harus dipahami bukan sekedar bentuk negara. Yang jauh lebih penting adalah menjalankan pemerintahan dengan berlandasan nilai-nilai moral keagamaan. Hal itu penting karena gagasan mendirikan negara Islam dalam konteks NKRI sama sekali tidak memiliki tempat. Gagasan tersebut menurut sebagian pemikir Muslim juga dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam.

Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik dan agama juga tidak pernah memerintahkan umatnya untuk membangun pemerintahan dalam bentuk tertentu. Karena itulah sepeninggal beliau terjadi ketegangan yang melibatkan sejumlah sahabat utama. Pemicunya adalah soal siapa yang paling berhak untuk menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat. Sejarah telah mencatat terjadinya mekanisme yang sangat beragam dalam menentukan pengganti (khalifah) Nabi. Setiap khalifah dipilih dengan mekanisme yang berbeda; pemilihan langsung (Abu Bakar), penunjukkan khalifah (‘Umar bin Khattab), tim formatur (Uthman bin ‘Affan), serta diangkat kaum pemberontak (‘Ali bin Abu Thalib).

Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa ajaran politik yang ditentukan Nabi hanya berupa landasan etik atau moral keagamaan yang harus dipatuhi pemimpin dan rakyatnya. Nilai-nilai moral keagamaan yang dipraktikkan Nabi tatkala memimpin kota Madinah al-Munawwarah adalah keadilan _(al-‘adalah),_ musyawarah _(al-syura),_ kebebasan _(al-hurriyah),_ persamaan _(al-musawa),_ toleransi _(tasamuh)_, dan semangat menghargai pluralitas keberagamaan _(al-ta’addud al-diniyyah)._ Dengan demikian, tugas pemimpin adalah menjamin pelaksanaan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itulah perdebatan yang menguras energi mengenai bentuk negara harus diakhiri. Semua komponen bangsa harus berpandangan bahwa ideologi Pancasila dan NKRI merupakan konsensus yang sudah final sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa _(the founding fathers)_. Gagasan mewujudkan negara Islam dapat dikatakan tidak memiliki dasar yang kuat, baik dalam tataran normatif-teologis maupun historis. Bahkan dalam konteks kekinian cita-cita mendirikan negara Islam sebagai negara ideologis tidak kompatibel dengan dunia modern.

Realitas di banyak negara juga menunjukkan bahwa cita-cita membangun sistem politik yang bercorak transnasional selalu mengalami kegagalan. Pada konteks itulah Oliver Roy dalam The Failure of Political Islam (1994) menyebut bahwa cita-cita gerakan Islam politik sebagai Islamic political imagination (imajinasi politik Islam). Pernyataan ini relevan dengan realitas politik di dunia Islam. Kondisi politik Indonesia juga menunjukkan gejala yang sama. Apalagi elit partai Islam dan partai berbasis ormas keislaman juga belum menunjukkan jati dirinya sebagai politisi yang benar-benar berintegritas.
Ironinya, diantara mereka justru terlibat dalam kasus suap, korupsi, dan tindakan asusila. Dampaknya, partai Islam dan partai berbasis ormas keislaman gagal memperoleh kepercayaan umat sehingga tidak kunjung menjadi partai besar. Justru partai berideologi nasionalis yang terus berjaya dalam setiap pemilu. Kondisi itu jelas tidak sejalan dengan data statistika yang menunjukkan bahwa jumlah umat Islam adalah mayoritas di negeri tercinta. Realitas politik ini seharusnya menjadi pelajaran bagi elit muslim, baik yang berkiprah di jalur politik maupun kultural.

Karena itulah corak keberagamaan umat harus bergeser dari yang menonjolkan simbol-simbol ideologis ke yang lebih substantif. Yang patut disyukuri, kini ideologi politik umat semakin mencair, bahkan melampaui batas-batas agama, etnik, dan budaya. Dalam konteks kehidupan politik seperti ini terasa sekali bahwa cita-cita mewujudkan negara ideologis dalam bentuk khilafah hanya merupakan sebuah imajinasi.

Dimuat di Jawa Pos, 14 September 2020